Sisi Filsafat Dalam Putusan Hakim [Ridho Afrianedi, S.H.I., Lc., M.H.]

LogoWeb4

*** TERIMA KASIH UNTUK TIDAK MEMBERIKAN IMBALAN DALAM BENTUK APAPUN KEPADA APARATUR PENGADILAN TINGGI AGAMA BANTEN. WASPADA TERHADAP MODUS PENIPUAN YANG MENGATASNAMAKAN PIMPINAN, HAKIM, PEJABAT DAN SELURUH PEGAWAI PENGADILAN TINGGI AGAMA BANTEN DALAM PELAKSANAAN PELAYANAN ***

on . Dilihat: 4142

 

SISI FILSAFAT DALAM PUTUSAN HAKIM
(KAJIAN ONTOLOGI DAN AKSIOLOGI)

Oleh: Ridho Afrianedy

BAB I

PENDAHULUAN

  1. LATAR BELAKANG MASALAH

Keadaan negara kita Indonesia serba penuh ketidakpastian dalam penegakkan hukum, kita berharap hukum yang dijadikan panglima bisa menyelesaikan kisruh dan pergolakkan akibat ulah oknum-oknum baik yang ada di lembaga legislatif, eksekutif, yudikatif bahkan rakyat Indonesia itu sendiri.

Tidaklah asing bagi kita, apalagi yang berlatang belakang hukum, kita sering mendengar atau bahkan sering membaca atau memang mengetahuinya negara kita berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945.

Dalam pembagian kekuasaan ada istilah trias politika, adanya pembagian kekuasaan antara lembaga legislatif, eksekutif dan yudikatif. Akan tetapi disini penulis fokus pada peran yudikatif terutama sosok hakim sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman yang merdeka dan bebas dari segala intervensi.

Dalam hal ini hukum tidak bisa lepas dari profesi hakim sebagai pemutus perkara yang diajukan kepadanya, sehingga bisa menghasilkan sebuah putusan yang menjunjung tinggi keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan.

Dalam menggapai itu semua, putusan seorang hakim tidak bisa lepas dari tinjauan yuridis, filosofis dan sosiologis. Walaupun ia terikat dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku tapi seorang hakim mempunyai kebebasan dalam menemukan hukum baru atau ia sendiri sebagai pembentuk hukum sehingga menjadi yurisprudensi bagi hakim yang lain. Disinilah peran filsafat mempengaruhi ruh hukum dalam penalaran seorang hakim.

  1. RUMUSAN MASALAH

            Sebelum masuk dalam inti pembahasan, ada beberapa permasalahan yang penulis rangkum diantaranya:

  1. Apa definisi dari hukum itu sendiri?
  2. Apa definisi filsafat?
  3. Apa hubungan filsafat dengan hukum?
  4. Apakah seorang hakim itu corong undang-undang?
  5. Bagaimana seorang hakim berfalsafah dalam putusannya?
  1. TUJUAN PENELITIAN
  1. Untuk mengetahui makna hukum dan filsafat.
  2. Untuk mengetahui tugas dan peranan seorang hakim dalam menganalisa sebuah perkara.
  3. Untuk mengetahui proses seorang hakim dalam meninjau sebuah perkara dari sisi filosofis.

BAB II

PEMBAHASAN

            Sebelum kita masuk dalam pembahasan tentang hubungan hukum dengan filsafat, perlu kita tampilkan pengertian hukum dan filsafat itu sendiri itu sendiri.

            Berdasarkan literatur yang penulis gali, penulis dapatkan definisi yang belum sama antara satu definisi dengan definisi yang lain, bahkan Prof. Van Apeldoorn mengatakan [1] definisi tentang hukum adalah sangat sulit dibuat karena tidak mungkin untuk mengadakannya yang sesuai dengan kenyataan.

            Sedangkan Immanuel Kant sekitar kurang lebih 200 tahun yang lalu pernah menulis sebagai berikut[2]: Noch Suchen die Juristen Eine Definitionzu Ihrem Begriffe Van Recht (masih juga para sarjana hukum mencari-cari suatu definisi tentang hukum).

            Oleh karena itu, amat susah mencari definisi yang pas dan cocok untuk zaman sekarang ini mengenai definisi hukum itu sendiri, karena situasi hukum suatu zaman atau generasi berbeda dengan generasi-generasi sebelumnya bahkan untuk generasi yang akan datang, sebagai analogi barangsiapa hendak mengenal sebuah gunung, maka seharusnya ia melihat sendiri gunung itu, demikian pula barangsiapa ingin mengenal hukum, ia pun harus melihatnya pula, permasalahannya gunung itu bisa dilihat dan diraba dengan panca indra sedangkan hukum itu tidak terlihat.

            Walaupun demikian penulis harus tetap mencari definisi yang cocok, maka penulis sependapat dengan Utrecht tentang definisi hukum[3] yaitu himpunan peraturan-peraturan (perintah-perintah dan larangan-larangan) yang mengurus tata tertib suatu masyarakat dan karena itu harus ditaati oleh masyarakat itu.

            Kemudian mengenai definisi filsafat, istilah filsafat dalam bahasa kita berasal dari bahasa arab yang berakar dari bahasa Yunani: Philos dan sophia, philos artinya cinta atau sahabat sophia artinya kebijaksanaan. Jadi filsafat atinya cinta kepada kebijaksanaan. Filsafat adalah suatu pemikiran manusia dalam usahanya mencari kebijaksanaan dan kebenaran yang sedalam-dalamnya sampai ke akar-akarnya (radikal, radik = akar), teratur (sistematis) dan menyeluruh (universal)[4].

            Kalau kita mengkaji hubungan antara hukum dan filsafat maka sebenarnya merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan, saling terikat dan hukum itu sendiri merupakan hasil dari perenungan falsafah hidup suatu masyarakat dan dikodifikasikan dalam bentuk peraturan-peraturan.

            Perubahan suatu hukum itu sangat dipengaruhi oleh perubahan falsafah hidup masyarakat itu sendiri, dari suatu zaman kezaman yang lain akan berubah tergantung arah falsafah hidup yang sedang berkembang dalam suatu bangsa.

            Sehingga bisa kita katakan falsafah itu sumber hukum, segala pertanyaan hukum dapat merupakan objek pertimbangan filsafat, sebagaimana juga Socrates membuat hal-hal dari hidup sehari-hari yang biasa sebagai titik pangkal dari pandangan-pandangan filsafatnya[5].

            Selanjutnya filsafat hukum berusaha untuk mengetahui apa sebenarnya hukum itu, apa hakikat hukum, apa yang menjadi cita-cita dan tujuan hukum, apa keadilan itu, apa hubungan hukum dan keadilan, apakah hukum yang berlaku sudah adil, bagaimana hukum yang adil itu, atas dasar itu semua, maka kedudukan filsafat hukum adalah sebagai filsafat etika[6].

            Maka tidak dapat kita ragukan lagi filsafat sangat memberikan kontribusi dalam pembentukan hukum suatu bangsa, membentuk tatanan dan aturan agar masyarakat tertib hukum dan memenuhi rasa keadilan ditengah masyarakat.

            Dinamika filsafat akan terus mewarnai warna warni hukum di tengah masyarakat, sehingga dibutuhkan akal pikiran yang jernih dalam menentukan arah hukum kedepannya, seperti apa keadilan yang diinginkan oleh masyarakat maka disanalah peran filsafat menempatkan posisinya sebagai salah satu sumber hukum.

            Hukum yang adil di Indonesia adalah hukum yang bersumber kepada kepribadian dan filsafat hidup bangsa Indonesia yang mencerminkan rasa keadilan bangsa Indonesia, mampu melindungi kepentingan-kepentingan material dan spritual dan mampu melindungi kepribadian dan kesatuan bangsa, kelangsungan hidup bangsa dan negara serta perjuangan mengejar cita-cita nasional[7].

            Apalagi berkaitan dengan tugas seorang hakim dalam menerima, mengadili dan memutus perkara yang diajukan kepadanya, maka ia tidak bisa lepas dari nilai-nilai filsafat yang hidup ditengah masyarakat Indonesia, dan hal inilah yang diamanatkan Pasal 5 ayat (1) Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang berbunyi: Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.

            Nilai-nilai yang hidup ditengah masyarakat inilah pegangan filsafat bagi seorang hakim dalam menegakkan ras keadilan, sehingga dalam setiap putusannya tidak bisa lepas dari tinjauan filosofis, walaupun dari tinjauan yuridis telah ditampung dalam bentuk peraturan perundang-undangan yang telah baku dan jadi standar aturan tertulis dalam menjalankan sistim negara ini.

            Dan hakim bukanlah corong undang-undang, akan tetapi hakim dengan undang-undang yang ada bisa membentuk sebuah aturan hukum yang adil. Jikalau undang-undang tersebut tidak lagi bisa menangkap sinyal keadilan dalam setiap kasus yang ada ditengah masyarakat.

Apalagi akhir-akhir ini DPR tengah menyusun KUHP dan KUHAP yang baru untuk menggantikan KUHP dan KUHAP yang lama karena tidak sesuai lagi dengan semangat reformasi dan falsafah hukum masyarakat Indonesia sekarang ini, maka dibutuhkan aturan hukum yang relevan dan mengakomodir semangat reformasi tersebut.

Sekilas kita melihat zaman kebelakang, hakim itu terikat dengan undang-undang yang ada, apa yang dikatakan undang-undang begitulah adanya, padahal hukum itu terlalu kaku kalau cuma dilihat dari sisi yuridis walaupun hakim sendiri dalam memutus tidak boleh juga lepas dari peraturan perundang-undangan yang ada, tapi jikalau undang-undang tersebut tidak sesuai bahkan tidak cocok lagi dengan nilai-nilai falsafah yang hidup ditengah masyarakat maka undang-undang itu harus ia kesampingkan untuk memenuhi rasa keadilan.

Sehingga kemampuan seorang hakim dalam berupaya menemukan keadilan dan kebenaran itu sendiri diuji, ada sebuah asas hukum “ius curia novit” yaitu hakim dianggap tahu akan hukum, walaupun tidak ada aturan yang mengatur tentang kasus yang ia hadapi maka ia harus menemukan hukum baru lewat putusannya, tidak boleh ia mengatakan, masalah ini tidak ada undang-undangnya bahkan kalau perlu ia harus menbentuk hukum itu sendiri, maka inilah yang disebut yurisprudensi dan akan dijadikan sumber hukum baru bagi hakim yang lain.

Disini sisi filosofis sebuah permasalahan hukum mulai tampak, yang mana filsafat itu menandakan sebuah wisdoms (kebijaksanaan). Hakim secara bahasa berasal dari bahasa arab yang artinya adalah seorang yang bijaksana, maka ia tidak bisa lepas dari filsafat, apalagi hukum itu diambil dari nilai-nilai yang hidup ditengah masyarakat.

Jangan sampai muncul hakim yang hanya penyambung lidah undang-undang saja tanpa berusah menggali nilai-nilai baik dari peraturan itu sendiri maupun nilai yang hidup ditengah masyarakat. Dalam membuat pertimbangan hukum hendaknya mempunyai tujuan untuk menjadikan kehidupan masyarakat itu bahagia. Sebagaimana yang dikatakan oleh Satjipto Rahardjo[8]: disini diajukan pendapat filsafat, hukum hendaknya bisa memberikan kebahagiaan kepada rakyat dan bangsanya.

BAB III

PENUTUP

  1. KESIMPULAN

            Dari uraian diatas, penulis mendapati kesimpulan serta saran sebagai berikut:

  1. Filsafat tidak bisa dipisahkan dalam memahami hukum.
  2. Filsafat mempunyai peranan penting dalam pembentukan hukum dan penemuan hukum oleh hakim.
  3. Sisi filsafat salah satu tujuan dari hukum itu sendiri.
  4. hukum yang melukai rasa keadilan harus dikesampingkan dan lebih diutamakan rasa keadilan yang hidup ditengah masyarakat .
  1. SARAN
  1. Filsafat diharapkan bisa menjadi sandaran utama bagi seluruh hakim dalam menangani dan memutus sebuah perkara.
  2. Filsafat diharapkan tetap menjadi mata kuliah wajib dalam perkuliahan di Fakultas Hukum di Indonesia.

DAFTAR PUSTAKA

Kansil, C. S. T, 1986, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Cetakan Ketujuh, Balai Pustaka, Jakarta.

Rahardjo, Satjipto, 2008, Membedah Hukum Progresif, Cetakan Ketiga, Penerbit Buku Kompas, Jakarta.


[1] C. S. T. Kansil, 1986, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, halaman 34.
[2] Ibid, hlm 35.
[3] C. S. T. Kansil, 1986, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, halaman 38.
[4] Ibid, hlm. 536.
[5] C. S. T. Kansil, 1986, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, halaman. 524.
[6] Ibid, hlm. 538.
[7] C. S. T. Kansil, 1986, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, halaman 539.
[8] Satjipto Rahardjo, 2008, Membedah Hukum Progresif, Penerbit Buku Kompas, Jakarta, halaman 10.

Oleh :
Ridho Afrianedi, S.H.I., Lc., M.H.

| PTA BANTEN, JAWARA HEBAT & BERMARTABAT