KEWAJIBAN MUT’AH DAN NAFKAH IDDAH, KEADILAN BAYANG-BAYANG SEMU

LogoWeb4

*** TERIMA KASIH UNTUK TIDAK MEMBERIKAN IMBALAN DALAM BENTUK APAPUN KEPADA APARATUR PENGADILAN TINGGI AGAMA BANTEN. WASPADA TERHADAP MODUS PENIPUAN YANG MENGATASNAMAKAN PIMPINAN, HAKIM, PEJABAT DAN SELURUH PEGAWAI PENGADILAN TINGGI AGAMA BANTEN DALAM PELAKSANAAN PELAYANAN ***

Ditulis oleh I. Harvin Saputro, S.IP. on . Dilihat: 110961

KEWAJIBAN MUT’AH DAN NAFKAH IDDAH,
KEADILAN BAYANG-BAYANG SEMU
oleh : Dr. H. Hardinal, M.Hum.

Tulisan dengan judul yang serupa telah pernah dimuat di Badilag.net beberapa tahun yang lalu, ditulis ketika saya bertugas di Pengadilan Tinggi Agama Jayapura, saya terdorong menulisnya karena melihat putusan hakim berkenaan dengan kewajiban mut’ah dan nafkah iddah yang diputuskan di persidangan dalam rangka melindungi hak istri yang ditalak suaminya pada umumnya tidak terlaksana sepunuhnya, dalam pengertian kewajiban-kewajiban tersebut dapat dikatakan sengaja diabaikan oleh bekas suami pasca perceraian, karena itu saya tertarik untuk mengangkat permasalahan tersebut.

A. Pokok Permasalahan
Dua hal yang menjadi pokok kajian dalam tulisan ini, yaitu masalah kewajiban membayar mut’ah dan nafkah Iddah. Kewajiban suami agar membayar mut’ah terhadap istrinya yang dicerai (ditalak) ditegaskan oleh Allah SWT dalam Al-Qur’an Surat Al-Baqarah (2) dan Surat Al-Ahzab (33) sebagai berikut :
Dan hendaklah mereka kamu beri mut’ah bagi yang mampu menurut kemampuannya dan bagi yang tidak mampu menurut kesanggupannya, yaitu pemberian dengan cara yang patut, yang merupakan kewajiban bagi orang-orang yang berbuat kebaikan.

Dan bagi perempuan-perempuan yang diceraikan hendaklah diberikan mut’ah menurut cara yang patut, sebagai suatu kewajiban bagi orang yang bertakwa.

Berilah mereka mut’ah dan lepaskanlah mereka itu dengan cara yang sebaik-baiknya.

Kata mut’ah merupakan bentuk lain dari kata al-mata’, yang berarti sesuatu yang dijadikan obyek bersenang-senang. Adapun yang dimaksud dengan mut’ah dalam beberapa ayat di atas ialah sesuatu yang diberikan oleh suami kepada istri yang diceraikannya sebagai penghibur. Secara eksplisit bahwa ayat di atas mewajibkan “kamu”, maksudnya para suami untuk memberikan mut’ah kepada “mereka”, maksudnya kepada para istri yang ditalak. Hal ini menurut riwayat sejalan dengan pendapat mayoritas Ulama Hanafiyyah, sesungguhnya Imam Ahmad bin Hanbal berpendapat bahwa mut’ah itu wajib untuk semua istri yang ditalak. Sebagian Ulama Malikiyyah, seperti Ibnu Shihab berpendapat semua perempuan yang ditalak di manapun di muka bumi ini berhak mendapat mut’ah. Imam Syafi’i yang juga dipertegas oleh al-Syarbaini menyebutkan bahwa kebanyakan para sahabat yang diketahuinya, berdasarkan ayat di atas menegaskan bahwa yang berhak mendapat mut’ah adalah semua perempuan yang ditalak.
Selanjutnya, masalah kewajiban membayar nafkah dalam rumah tangga secara umum dijelaskan oleh Allah dalam Al-Qur’an Surat Al-Baqarah (2) ayat 233 :
Dan kewajiban ayah menanggung nafkah dan pakaian mereka dengan cara yang patut.

Adapun yang dimaksud dengan kewajiban ayah menanggung nafkah dalam ayat di atas adalah kewajiban suami selaku kepala rumah tangga untuk menafkahi istri bersama anak-anaknya selama dalam ikatan perkawinan, inklud kewajiban menafkahi bekas istri selama menjalani masa iddah bilamana terjadi perceraian antara suami dan istri.
Berangkat dari uraian di atas, maka yang menjadi ruang lingkup pembahasan tulisan ini dibatasi hanya masalah pembayaran mut’ah dan nafkah iddah khusus bagi istri yang dijatuhi talak oleh suaminya secara formal di Pengadilan Agama, serta mut’ah dan nafkah iddah tersebut dibebankan oleh majelis hakim dalam produk putusannya kepada suami baik dalam konvensi maupun dalam rekonvensi, tidak termasuk talak di bawah tangan dan nafkah selama ikatan perkawinan suami istri yang masih utuh; dengan formulasi permasalahan :
1. Apakah kewajiban mut’ah dan nafkah iddah harus dibayar secara serta merta (cash and carry) di depan persidangan ikrar talak?
2. Apakah izin pengikraran talak suami harus ditunda karena belum memenuhi secara sukarela kewajiban mut’ah dan nafkah iddah?

Dua permasalahan tersebutlah agaknya terasa urgen untuk dikaji dalam tulisan ini, karena dalam praktek di Pengadilan Agama ditemukan dualisme teknis penerapannya, sebagai berikut :
Pertama, mewajibkan pembayaran mut’ah dan nafkah iddah secara serta merta (cash and carry) dalam sidang ikrar talak.
Kedua, sidang ikrar talak dilaksanakan kendati suami belum membayar mut’ah dan nafkah iddah sebagaimana yang ditetapkan dalam putusan, dengan alasan kewajiban tersebut dapat dibayarkan pasca ikrar talak, kalaupun tidak dipenuhi oleh bekas suami, bekas istri dapat mengajukan permohonan eksekusi kepada Pengadilan agar bekas suami memenuhi kewajiban mut’ah dan nafkah dimaksud.

B. Ketentuan Normatif
Ketentuan hukum mengenai akibat putusnya perkawinan karena perceraian menurut ketentuan undang-undang, antara lain Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan/atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas istri. Biaya penghidupan dan sesuatu kewajiban yang dimaksud dalam ketentuan tersebut adalah nafkah iddah dan mut’ah, seperti yang diatur dalam Kompilasi Hukum Islam tentang akibat putusnya perkawinan karena talak, antara lain bekas suami wajib memberikan mut’ah yang layak kepada bekas istrinya, baik berupa uang atau benda, kecuali bekas istri qabla al-dukhul. Memberi nafkah, maskan dan kiswah kepada bekas istri selama dalam iddah, kecuali bekas istri telah dijatuhi talak ba’in atau nusyuz dan dalam keadaan tidak hamil. Kemudian mut’ah wajib diberikan oleh bekas suami dengan syarat belum ditetapkan mahar bagi istri ba’da al-dukhul dan perceraian atas kehendak suami.
Berdasarkan ketentuan di atas bahwa kewajiban memberi mut’ah yang layak oleh bekas suami kepada bekas istrinya adalah bersifat imperatif dan melekat, baik berupa finansial (uang) maupun non-finansial (berwujud benda), kecuali bilamana suami istri ketika hidup berumah tangga, istri sama sekali belum pernah digauli oleh suaminya (qabla al-dukhul).
Demikian halnya kewajiban bekas suami untuk memberikan nafkah terhadap bekas istrinya selama dalam masa iddah, adalah merupakan kewajiban yang bersifat imperatif dan melekat, kecuali istri dijatuhi talak ba’in atau nusyuz dan dalam keadaan tidak hamil. Kewajiban yang bersifat imperatif dan melekat yang dimaksud disini adalah kewajiban yang tak terpisahkan dengan rangkaian peristiwa penjatuhan talak oleh suami atas istrinya, dapat dipahami bahwa timbulnya kewajiban mut’ah dan nafkah iddah adalah karena akibat terjadinya talak. Bilamana tidak ada talak maka kewajiban membayar mut’ah dan nafkah iddah pun tiada.

C. Keadilan Bayang-bayang Semu
Menurut ketentuan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang telah dua kali diubah pertama dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 dan kedua dengan Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009, menyebutkan : Hukum Acara yang berlaku pada pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama adalah hukum Acara Perdata yang berlaku pada Pengadilan Umum (sekarang dibaca Pengadilan Negeri, pen), kecuali yang telah diatur secara khusus dalam undang-undang ini.
Hukum Acara Perdata yang berlaku pada Pengadilan Negeri antara lain HIR/RBg. Di dalam HIR disebutkan : Jika pihak yang dikalahkan tidak mau atau lalai untuk memenuhi isi putusan itu dengan damai, maka pihak yang menang memasukkan permintaan, baik dengan lisan, maupun dengan surat, kepada ketua pengadilan negeri (dibaca juga agama, pen.) yang tersebut pada ayat pertama Pasal 195, buat menjalankan keputusan itu. Ketua, menyuruh memanggil fihak yang dikalahkan itu serta memperingatkan supaya ia memenuhi keputusan itu di dalam tempo yang ditentukan oleh ketua yang selama-lamanya delapan hari.
Jika sudah lewat tempo yang ditentukan itu, dan yang dikalahkan belum juga memenuhi keputusan itu, atau ia jika dipanggil dengan patut, tidak datang menghadap, maka ketua oleh karena jabatannya memberi perintah dengan surat, supaya disita sekalian banyak barang-barang yang tidak tetap dan jika tidak ada, atau ternyata tidak cukup sekian banyak barang tetap kepunyaan orang yang dikalahkan itu sampai dirasa cukup akan pengganti jumlah uang yang tersebut di dalam keputusan itu dan ditambah pula dengan biaya semua biaya untuk menjalankan keputusan.
Substansi yang sama dengan ketentuan tersebut, berbunyi : Dalam hal keengganan atau kealpaan pihak yang kalah untuk melaksanakan putusan secara sukarela, maka pihak yang menang secara lisan atau tertulis dapat mengajukan permohonan agar putusan yang bersangkutan dilaksanakan. Ketua menyuruh memanggil pihak yang kalah dan memperingatkannya agar ia dalam waktu yang ditentukannya, tidak melebihi delapan hari, melaksanakan keputusan yang bersangkutan.
Bila telah lampau tenggang waktu yang telah ditentukan, putusan hakim tidak dilaksanakan atau pihak yang kalah tidak datang menghadap setelah dipanggil, maka ketua karena jabatannya mengeluarkan perintah untuk menyita sejumlah barang-barang bergerak dan, jika jumlahnya diperkirakan tidak akan mencukupi, juga sejumlah barang-barang tetap milik pihak yang kalah sebanyak diperkirakan akan mencukupi untuk membayar jumlah uang sebagai pelaksanaan putusan, dengan batasan bahwa di daerah Bengkulu, Sumatera Barat dan Tapanuli, hanya dapat dilakukan penyitaan atas harta warisan (harta pusaka) jika tidak terdapat cukup kekayaan dari harta pencarian baik yang berupa barang bergerak maupun barang tetap.
Berpedoman kepada ketentuan HIR Pasal 195 dan Pasal 196 (1) serta RBg Pasal 207 (1) dan (2) dan Pasal 208 di atas, dapat dipahami bilamana pihak yang kalah enggan atau tidak mau melaksanakan putusan pengadilan secara sukarela, maka pihak yang dinyatakan menang dalam berperkara perdata tersebut dapat mengajukan permohonan eksekusi kepada Pengadilan yang memutus perkara dimaksud, agar Pengadilan melakukan aanmaning (teguran) dengan memanggil pihak yang kalah untuk melaksanakan isi putusan secara sukarela. Bila tidak tercapai damai, dalam arti pihak yang kalah tidak mau melaksanakan isi putusan setelah dilakukan aanmaning, maka bila tempo waktu yang ditentukan maksimal delapan hari itu sudah terlewati, pengadilan melakukan penyitaan terutama terhadap aset bergerak (tidak tetap) milik pihak yang bersangkutan.
Bagaimana kaitannya dengan pelaksanaan putusan Pengadilan Agama yang rumusan amarnya seperti dalam contoh I dan contoh II berikut :
Contoh I

MENGADILI

1. Mengabulkan permohonan pemohon untuk seluruhnya;
2. Menetapkan memberi izin kepada pemohon untuk mengikrarkan talak satu raj’i terhadap termohon di depan sidang Pengadilan Agama (X)
3. Membebankan kepada pemohon untuk mebayar mut’ah berupa uang sebesar Rp 25.000.000,00 (dua puluh lima juta rupiah) kepada termohon seketika dan sekaligus pada sidang ikrar talak diucapkan;
4. Membebankan pula kepada pemohon untuk mebayar nafkah iddah kepada termohon sebesar Rp 10.500.000,00 (sepuluh juta lima ratus ribu rupiah) seketika dan sekaligus pada sidang ikrar talak diucapkan;
5. Membebankan kepada pemohon untuk membayar semua biaya perkara ini sebesar Rp 205.000,00 (dua ratus lima ribu rupiah).

Contoh II

MENGADILI

Dalam Konvensi:
1. Mengabulkan permohonan pemohon untuk seluruhnya;
2. Menetapkan memberi izin kepada pemohon untuk mengikrarkan talak satu raj’i terhadap termohon di depan sidang Pengadilan Agama (X)

Dalam Rekonvensi:
1. Mengabulkan gugatan penggugat untuk seluruhnya;
2. Membebankan kepada tergugat untuk mebayar mut’ah berupa uang sebesar Rp 25.000.000,00 (dua puluh lima juta rupiah) kepada penggugat seketika dan sekaligus pada sidang ikrar talak diucapkan;
3. Membebankan pula kepada tergugat untuk mebayar nafkah iddah kepada penggugat sebesar Rp 10.500.000,00 (sepuluh juta lima ratus ribu rupiah) seketika dan sekaligus pada sidang ikrar talak diucapkan;

Dalam Konvensi dan Rekonvensi:
- Membebankan kepada pemohon konvensi/tergugat rekonvensi untuk membayar semua biaya perkara ini sebesar Rp 205.000,00 (dua ratus lima ribu rupiah).

Memperhatikan ketentuan HIR Pasal 195 dan Pasal 196 (1) serta RBg Pasal 207 (1) dan (2) dan Pasal 208, maka rumusan amar putusan tidak dapat dirumuskan seperti contoh I dan II di atas, karena formulasinya sangat mengikat dengan adanya kata-kata “dibayar seketika dan sekaligus pada sidang ikrar talak diucapkan”. Dalam konotasi pelaksanaan putusan pembayaran sejumlah uang atau benda tidak dengan putusan serta merta (cash and carry), karena HIR Pasal 195 dan Pasal 196 (1) serta RBg Pasal 207 (1) dan (2) dan Pasal 208 mengatur apabila pihak yang kalah tidak mau melaksanakan isi putusan secara sukarela, maka pihak yang menang dapat mengajukan permohonan eksekusi kepada pengadilan yang memutus perkara tersebut. Pengadilan melakukan peneguran atau aanmaning kepada yang bersangkutan dalam waktu tidak melebihi delapan hari. Bilamana ternyata putusan tidak juga dapat dijalankan secara sukarela maka pengadilan melakukan penyitaan terutama atas aset bergerak (tidak tetap) pihak tereksekusi.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa keengganan pihak suami melaksanakan isi putusan berupa mut’ah dan nafkah iddah secara yuridis tidak menghalangi ikrar (pengucapan) talak oleh suami di muka sidang pengadilan, karena ikrar talak dan pembayaran mut’ah serta nafkah iddah dipandang suatu hal yang berdiri sendiri, terpisah atau kewajiban yang tidak melekat.
Menurut hemat penulis, seperti telah disinggung terdahulu bahwa timbulnya kewajiban mut’ah dan nafkah iddah adalah karena akibat terjadinya talak. Bilamana tidak ada talak maka kewajiban membayar mut’ah dan nafkah iddah pun tiada. Penulis melihat ada “kevacuuman” hukum dalam hal ini, karena pembayaran mut’ah dan nafkah iddah adalah suatu kewajiban bagi suami yang akan menjatuhkan talak atas istrinya. Kalau merupakan kewajiban berarti suatu kemestian, tidak boleh tidak dan wajib dilaksanakan. Dimana dalam kewajiban terinplisit unsur pemaksaan, konotasi wajib berpahala bila dilakukan dan berdosa jika tidak dilakukan. Penyelesaian perkara cerai talak diatur secara khusus (lex specialis) dalam beracara di Peradilan Agama, karena itu teknis pelaksanaan putusannya pun harus mengikuti aturan khusus. Menurut hemat penulis aturan khusus inilah yang masih vakum, karena teknis pembayaran mut’ah dan nafkah iddah tidak bisa mengacu atau diterapkan sejalan dengan ketentuan Hukum Acara Perdata umum, karena unsur pokok dalam HIR dan RBg adalah “pihak yang kalah” dan enggan, lalai atau tidak mau melaksanakan putusan secara sukarela. Sedangkan dalam pembebanan mut’ah dan nafkah iddah “tidak terdapat pihak yang dikatakan kalah dan yang menang”, melainkan pembebanan tersebut merupakan “kewajiban syar’i” yang harus ditunaikan di saat suami menjatuhkan talak atas istrinya secara cash and carry, berarti antara penjatuhan talak dan pembayaran mut’ah serta nafkah iddah adalah suatu kewajiban yang melekat (koheren). Apatah lagi hal tersebut dibebankan oleh majelis hakim secara ex officio, sama sekali tidak terkandung unsur pihak yang dimenangkan dan dikalahkan. Karena itu, sidang ikrar talak wajib ditunda bilamana pihak suami belum membayar kewajibannya berupa mut’ah dan nafkah iddah, sekurang-kurangnya ditunda selama dalam limit waktu ikrar talak yang ditentukan seperti yang dibunyikan dalam relaas pemanggilan untuk sidang ikrar talak, yaitu selama 6 (enam) bulan. Bilamana tidak ditunda, dalam pengertian suami tetap diberi izin untuk mengikrarkan talak atas istri tanpa memenuhi kewajiban mut’ah dan nafkah iddah, berarti pihak istri tergolong pihak yang “ter-zhalimi” (diperlakukan tidak adil), sementara suami ditolerir berbuat dosa. Kalau demikian halnya, sebegitu kuatnya daya magnitis (godaan) pasal-pasal HIR dan RBg yang tidak dilatari nilai sakral itu merasuki prosesi pelaksaan syari’at. Adapun pasal-pasal HIR dan RBg itu dapat diserap, sepanjang tidak konfrontatif dengan ruh syari’at.
Allah SWT memberi isyarat dalam Al-Qur’an Surat Al-Baqarah (2) ayat 231 “… atau ceraikan mereka dengan ma’ruf (baik)…”. Salah satu indikasi perceraian dilakukan dengan “ma’ruf (baik)” adalah memenuhi kewajiban mut’ah dan nafkah iddah yang memang merupakan hak bagi istri yang dicerai (ditalak) suaminya.
Adapun upaya eksekusi sebagaimana diatur HIR dan RBg seperti tersebut di atas merupakan suatu ketidakpastian untuk bisa terlaksana, karena suami setelah menjatuhkan talak secara mudah menghindar dan kemungkinan besar untuk tidak memenuhi kewajibannya dapat saja terjadi, karena bekas suami serta merta dapat pergi, menikah lagi tanpa menunggu masa iddah bekas istri habis, dan pernikahannya tidak mustahil terjadi di daerah lain yangmana alamatnya tidak diketahui oleh bekas istri. Apabila kemungkinan seperti itu yang terjadi, maka mut’ah dan nafkah iddah yang dinantikan dan diharapkan oleh bekas istri, sebagai penghibur dan penutup kebutuhan selama masa iddah (masa berkabung) karena ditimpa oleh kematian kecil ditalak suami tentu semakin menjauh, lantaran bekas suami sudah tidak di tempat. Apalagi berlanjut kepada proses penyitaan dan pelelangan oleh pengadilan atas barang bergerak (tidak tetap) milik tereksekusi yang notabene harus diidentifikasi lebih dulu oleh bekas istri sendiri. Selain ruwet, juga membutuhkan proses dan waktu yang tidak sedikit, plus biaya yang tentunya tidak ringan. Wal hasil “filasofi keadilan” yang diciptakan HIR dan RBg dalam masalah ini merupakan “keadilan bayang-bayang semu” alias “keadilan fatamorgana” yang bila dikejar ia tidak akan tertangkap, kalaupun tertangkap hasilnya “bak menggantang asap (hampa)”, karena nilai yang dikejar dengan biaya yang dikeluarkan tidak berbanding simetris. Betapa sering kita mendengar keluhan lara kaum ibu mengenai kewajiban mut’ah dan nafkah iddah yang tidak dipenuhi oleh para bekas suami, kecuali yang dibayar secara cash and carry di muka sidang ikrar talak.
Sepengetahuan kita bahwa hukum normatif tidak pernah punya daya aksi dan reaksi karena tidak memiliki ruh, peranan hakimlah untuk meniupkan “ruh mashlahah” terhadap setiap pasal suatu undang-undang. Namun sudah sepatutnya pula “ruh jahat” alias “ruh mafsadat” untuk dihalau dan diusir bilamana terlanjur bersemayam pada suatu pasal tertentu. Apalagi di saat “kekosongan” hukum seperti dalam masalah yang tengah dibahas ini, maka kreativitas para hakim selalu dituntut menjadi judge made law untuk membangun pilar keadilan, sehingga kaum ibu merasa tidak ter-zhalimi dan keadilan betul-betul merekah membela hak-hak mereka, inklud anak-anak yang hidup bersama mereka sebagai penerus bangsa. Bukankah selama ini kita ketahui bahwa background kehadiran Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama antara lain adalah untuk melindungi kaum hawa (para istri)?
Alhamdulillah, kekosongan hukum seperti yang penulis ungkapkan di atas telah direspon oleh Mahakamah Agung RI dengan dikeluarkannya Surat Edaran Mahkamah Agung RI Nomor 1 Tahun 2017 Tanggal 19 Desember 2019, yakni Tentang Pemberlakuan Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung Tahun 2017 Sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas Bagi Pengadilan, huruf C Sub Rumusan Hukum Kamar Agama point 1 berbunyi : “Dalam rangka pelaksanaan Perma Nomor 3 Tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan dengan Hukum untuk memberi perlindungan hukum bagi hak perempuan pasca perceraian, maka pembayaran kewajiban akibat perceraian, khususnya nafkah iddah, mut’ah, dan nafkah madliyah, dapat dicantumkan dalam amar putusan dengan kalimat dibayar sebelum pengucapan ikrar talak.”
Kemudian, dengan adanya Surat Edaran Mahkamah Agung RI Nomor 1 Tahun 2017 sebagimana tersebut di atas, maka dualisme teknis penerapan pembayaran kewajiban suami menjatuhkan talak terhadap istri khususnya nafkah iddah, mut’ah, dan nafkah madliyah dapat dikatakan terselesaikan dengan mengacu kepada petunjuk Mahkamah Agung RI tersebut, hanya saja jumlah nominalnya perlu lebih dipertimbangkan secara propersional oleh Majelis Hakim dalam menetapkan hak-hak yang bersifat protektif bagi kaum perempuan bilamana berhadapan dengan hukum.
Demikianlah tulisan yang amat sederhana ini dan semoga bermanfaat.

*Penulis adalah Hakim Tinggi Pengadilan Tinggi Agama Banten.


| PTA BANTEN, JAWARA HEBAT & BERMARTABAT