Difabel Dalam Al-Qur'an [Dra. Hj. Muhayah, S.H., M.H.]

LogoWeb4

*** TERIMA KASIH UNTUK TIDAK MEMBERIKAN IMBALAN DALAM BENTUK APAPUN KEPADA APARATUR PENGADILAN TINGGI AGAMA BANTEN. WASPADA TERHADAP MODUS PENIPUAN YANG MENGATASNAMAKAN PIMPINAN, HAKIM, PEJABAT DAN SELURUH PEGAWAI PENGADILAN TINGGI AGAMA BANTEN DALAM PELAKSANAAN PELAYANAN ***

Ditulis oleh Arie Wibowo on . Dilihat: 45651

Difabel Dalam Al-Qur'an

Oleh : Dra. Hj. MUHAYAH, S.H., M.H.

 

BAB I

PENDAHULUAN

 1. Latar Belakang.

Al-Qur’an sebagai petunjuk kehidupan umat manusia, khususnya umat Islam adalah kitab yang memuat  petunjuk dan pedoman hidup manusia untuk menjalani kehidupannya dan berinteraksi sesama manusia, ciptaan-Nya dan tentu sang pencipta.

 Salah satu realitas kehidupan yang terjadi di sekitar kita adalah adanya kaum difabel. Penyandang difabel masih sering kali dipandang sebelah mata bagi masyarakat luas, hal ini dikarenakan oleh beberapa faktor beberapa diantaranya disebabkan oleh keterbatasan mereka untuk melakukan suatu aktivitas dan keterbatasan mereka terhadap kemampuan fisik mereka. Pandangan masyarakat yang negatif terhadap kelompok difabel juga menyebabkan kelompok tersebut sulit untuk mendapatkan kedudukan, hak, kewajiban dan peran yang sama dengan masyarakat lainnya di segala aspek kehidupan dan penghidupan Adapula mitos di masyarakat dahulu bahwa (orang yang lahir) difabel adalah produk gagal. Mereka lahir sebelum sempurna untuk dilahirkan.

Sebagian masyarakat mempercayai bahwa difabilitas yang dialami seseorang adalah akibat dari perbuatan yang melanggar norma sosial dan agama. Mitos lain menggambarkan difabel sebagai hukuman/kutukan yang patut diterima oleh seseorang atas kejahatan yang dilakukannya, baik langsung atau pun tidak langsung. Padahal dalam al-Qur’an menjelaskan bahwa Islam sangat melarang keras taskhir (menghina dan merendahkan) orang lain dengan alasan apa pun, seperti karena bentuknya, warna kulitnya, agamanya dan lain-lain.

              Dari uraian latar belakang tersebut, maka terasa penting untuk mengetahui pandangan Al-Qur’an tentang kaum difabel, Ayat mana saja yang berkaitan dengan difabel dan bagaimana al-Qur’an memperlakukannya, oleh karenanya dalam makalah singkat ini, penulis  akan membahas  “Difabilitas Dalam al-Qur’an”.

 

BAB II

PEMBAHASAN

A. Ayat-ayat difabel dalam Al-Qur’an.

Di dalam Al-Qur’an kita bisa dapatkan term-term difabel[1] walaupun tidak ditemukan secara eksplisit yang menunjukkan makna cacat, tetapi  ditemukan beberapa term-term yang memberikan indikasi makna bagian dari kategori difabel. Setidaknya ada lima kata dalam Al-Qur’an yang merupakan bagian dari difabel. Yaitu, أعمى (a’ma) yang berarti tunanetra atau buta, اكمه (akmah) yang berarti tunanetra yang tidak total, بكم (bukmun) yang berarti tunawicara atau bisu, صم (shummun) yang berarti tunarungu atau tuli, dan أعرج (a’raj) yang berarti tunadaksa atau memiliki kecacatan fiksi, seperti pincang dan lainnya.

Keseluruhan term tersebut, terdapat pada 26 surah, dalam 38 ayat. Yaitu pada surah Al-Baqarah ayat 18, 171, Ali Imran ayat 49, Al-Maidah ayat 71, 110, Al-An’am ayat 39, 50, 104, Al-A’raf ayat 64, Al-Anfal ayat 22, Yunus ayat 42-43, Hud ayat 24, 28, Ar-Ra’du ayat 16, 19, An-Nahl ayat 76, Al-Isra ayat 72, 97, Thaha ayat 124-125, Al-Anbiya’ ayat 45, Al-Hajj ayat 46, An-Nur  ayat 61,  Al-Furqan ayat 73,  An-Naml ayat 66, 80, 81, Al-Qashash ayat 66,  Ar-Rum ayat 52-53, 18, 171, Fathir ayat 19,  Ghafir ayat 58, Fushilat ayat 17, Al-Zukhruf ayat 40, Muhammad ayat 23, Al-Fath ayat 17, dan Abasa ayat 2.

Akan tetapi tidak semua ayat di atas menunjukkan konotasi makna sebagai kaum difabel secara fisik, melainkan lebih kepada kecacatan mental (non fisik) berupa kecacatan hati dan teologis dari seseorang.  yaitu digunakan dalam konteks ancaman balasan bagi orang-orang yang menyekutukan Allah SWT. Seperti mendustakan risalah Nabi, mendustakan ayat-ayat Allah SWT, menyembah selain Allah SWT, tidak mengambil manfaat dari pancaindra untuk menelaah kebenaraan, berbuat kerusakan, mengingkari hari akhir, berpaling dari hari akhir.

Adapun ayat-ayat yang menjelaskan terminologi difabel atau cacat secara fisik bukan secara non fisik, dalam Al-Qur’an terdapat lima. Yaitu pada surah Abasa ayat 2, Ali Imran ayat 49, An-Nur ayat 61, Al-Fath 17, dan Al-Maidah ayat 110.[2]

 

B. Konotasi Term Difabel dalam al-Qur’an.

Berangkat dari informasi mengenai sebaran term-term penyandang cacat dalam al-Qur’an di atas, Kata yang bermakna disabilitas dalam al-Qur‟an, didapat  bahwa beberapa term – term tersebut  merujuk pada dua konotasi :

  1. Konotasi negatif (cacat non fisik).

Term-term penyandang cacat yang termuat dalam ayat-ayat al-Qur’an kebanyakan digunakan dalam konteks tidak baik dan tidak dalam pengertian fisik berupa kecaman dan ancaman balasan bagi orang-orang yang mensekutukan Allah, mengingkari ayatayat-Nya, mendustakan petunjuk anjuran para rasul. Jumlah ayat yang memuat termterm difabel dengan konotasi negatif ini adalah 33 ayat.

Berikut adalah beberapa karakteristik cacat mental/teologis yang disebutkan dalam al-Qur’an:[3]

  1. Mendustakan risalah para nabi, memusuhi bahkan melakukan tindak kekerasan terhadap mereka. Karakteristik seperti ini digambarkan dalam surat al-A’râf [7]: 64, al-Naml  [27]: 80-81, Fushshilat [41]: 17, al-Zukhrûf  [43]: 40, al-Rûm  [30]: 52- 43, dan al-Mâidah  [5]: 71.
  2. Menjadikan sekutu selain Allah SWT, disebutkan dalam surat: al-An’am [6]:50, dan al-Ra’d [13]:16.
  3. Mendustakan ayat – ayat Allah (kitab suci), mengacuhkannya serta tidak mengambil manfaat daripadanya, hal ini disebutkan dalam surat: al-Furqan [25]:73, al-An’am [6]:39, al-Anfal [8]:22, al-Ra’d [13]:19,dan al-Hajj [22]:46.
  4. tidak mengambil manfaat dari panca indera untuk menelaah dan menerima kebenaran. Hal ini tercantum dalam surat: Yunus [10]:42-43, al-An’am [6]:104, dan al-Baqarah [2]:18 dan ayat 171.
  5. Durhaka, berbuat kerusakan di bumi serta memutus silaturrahim. Hal ini disebutkan dalam surat: Fathir [35]:19, Ghafir [40]:58, dan Muhammad [47]:23
  6. Mengingkari hari akhir dan bentuk balasan di akhirat. Hal ini dicantumkan dalam surat: Thaha [20]:125, al-Naml [27]:66, al-Qashash [28]:66, dan al-Isra’ [17]:72.
  7. Berpaling dari peringatan Allah dan lalai berdzikir kepada-Nya. Hal ini tercantum dalam surat Thaha [20]:124.

Secara eksplisit redaksi ayat-ayat yang menunjukkan konotasi negatif di atas, memang menggunakan term-term yang ditinjau dari aspek kebahasaan memiliki arti cacat fisik. Meskipun demikian, namun konteks ayat-ayat tersebut tidak dimaksudkan untuk menunjukkan makna kecacatan fisik. Cacat fisik yang dipergunakan al-Qur’an untuk menggambarkan sisi negatif dari individu yang tidak beriman, bisa dikatakan mewakili peradaban Arab pada masa saat wahyu itu diturunkan. Hal ini dikarenakan dalam ilustrasi budaya Arab saat itu, bisu, tuli, dan buta mewakili individu atau kelompok yang secara sosial diasingkan serta dimarjinalkan. Berdasarkan catatan sejarah dan tinjauan antropologis, kehidupan bangsa Arab pra Islam berada pada suatu keadaan yang sangat keras disebabkan perwatakan yang keras dan pemberani hasil bentukan kondisi geografis yang cadas.[4]

  1. Konotasi netral (cacat fisik).

        Beberapa tempat dalam ayat Al-Qur’an yang memuat term-term penyandang cacat juga menunjukkan konotasi yang netral, dalam artian term tersebut memang menunjukkan makna cacat fisik sesungguhnya yang terdapat pada 5 (lima), yaitu ‘Abasa (K. 240) [80]: 2, Âli ‘Imrân [3]: 49, al-Nûr [24]: 61, al-Fath [48]: 17 dan al- Mâidah [5]: 110.

        Ini menunjukkan bahwa minimnya ayat-ayat yang berbicara mengenai para penyandang cacat fisik dibandingkan cacat non fisik. Dari 38 jumlah ayat dalam Al-Qur’an yang berkaitan dengan difabel, hanya 5 ayat yang menunjukkan cacat, jumlah ini relatif kecil jika dibandingkan dengan jumlah ayat-ayat dengan konotasi cacat teologis, yaitu 33 ayat. Kemudian, perbandingan surat Makkiyah dan Madaniyah, hanya ada satu ayat Makkiyah yang menunjukkan kecacatan fisik, yaitu surat ‘Abasa [80]: 2, sedangkan 25 ayat Makkiyah lainnya menunjukkan konotasi kecacatan teologis. Hal ini dapat dipahami bahwa lebih dominannya konotasi kecacatan teologis dalam ayat-ayat Makkiyah sebagai implikasi dari keadaan agama Islam saat periode Makkah.[5]

        Maka untuk membantah perilaku mereka yang tidak menerima kebenaran dan mendawamkan kebatilan, Allah mendenotasi mereka dengann sebutan-sebutan cacat. Selain itu, ayat-ayat tersebut juga dimaksudkan agar mereka mempergunakan akal pikiran serta membuang taklid yang tidak berdasarkan pengetahuan dan dalil-dalil dari tradisi-tradisi nenek moyang.[6]

        Di lain sisi, terdapat empat surat Madaniyah yang menunjukkan konotasi cacat fisik, dan lima surat lainnya menunjukkan konotasi cacat teologis. Secara persentase, jumlah antara masing-masing konotasi dapat dikatakan hampir seimbang, meskipun tetap lebih banyak ayat yang menunjukkan konotasi negatif. Hal ini dapat dipahami bahwa pada periode Madinah, Allah menginginkan agar umat Islam memperhatikan keberadaan para penyandang cacat. Dakwah Rasul SAW pada periode ini lebih menekankan pada syariat secara detail dan hukum-hukum amaliah dalam beribadah dan bermasyarakat.[7]

 

C. Sikap Al-Qur’an Terhadap Difabel.

Jauh sebelum Islam datang, apa yang sekarang ini disebut orang difabel sudah ada. Al-Qur’an surat Ali Imran [3]: 49 dan al-Ma‟idah [5]: 110 menjelaskan bahwa salah satu mu’jizat Isa as. adalah dapat menyembuhkan orang yang buta sejak lahir (akmaha) dan orang yang menderita penyakit kusta (abroso). Ini artinya, orang difabel “alami” sudah ada sejak lama. Belum lagi orang difabel yang “tidak alami”, yakni karena kecelakaan atau sebagai korban perang. Kecelakaan dan perang bukanlah monopoli kehidupan modern, namun jauh sebelumnya sudah ada.

kaum difabel sering kali menjadi sorotan masyarakat sebagai golongan minoritas yang sering kali dikucilkan atau diasingkan dan juga tidak mendapatkan perhatian penuh dari masyarakatnya sendiri. Hal ini tentu tidak sejalan dengan ajaran agama Islam.

Al-Qur’an yang menjadi rujukan umat muslim telah memberikan perhatian penuh terhadap kaum difabel, Al-Qur’an sendiri mengembangkan sikap positif terhadap kaum difabel. Sebagai bukti, Al-Qur’an memberikan akomodasi khusus sehingga mereka dapat beribadah seperti yang lainnya. Secara bersamaan hal ini mengimplikasikan bahwa Al-Qur’an mempertimbangkan kemampuan dan kondisi seseorang. Seorang muslim yang mengalami difabilitas tidak dihukum karena kondisinya. Konsep ini terlihat jelas misalnya dalam ibadah salat. Pelaksanaan salat dapat dilakukan sesuai dengan kemampuan seorang difabel. Hal ini tergambar dalam ayat berikut ini:

{الَّذِينَ يَذْكُرُونَ اللَّهَ قِيَامًا وَقُعُودًا وَعَلَى جُنُوبِهِمْ وَيَتَفَكَّرُونَ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ..}

"Orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): “Ya Tuhan Kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha suci Engkau, Maka peliharalah Kami dari siksa neraka.” (Q.S. Ali Imran [3]: 191)

 

Akomodasi khusus (rukhsah) terhadap difabel juga tergambar dari ayat berikut:

{لَيْسَ عَلَى الْأَعْمَى حَرَجٌ وَلَا عَلَى الْأَعْرَجِ حَرَجٌ وَلَا عَلَى الْمَرِيضِ حَرَج..}

Tidak ada halangan bagi orang buta, tidak (pula) bagi orang pincang, tidak (pula) bagi orang sakit…(Q.S. an-Nūr [24]: 61)

 

Ayat ini secara eksplisit menegaskan kesetaraan sosial antara penyandang disabilitas dan mereka yang bukan penyandang disabilitas. Mereka harus diperlakukan secara sama dan diterima secara tulus tanpa diskriminasi dalam kehidupan social, sebagaimana penjelasan Syekh Ali As-Shabuni dalam Tafsir Ayatul Ahkam, :

يَقُولُ الله جَلَّ ذِكْرُهُ مَا مَعْنَاهُ: لَيْسَ عَلَى أَهْلِ الْأَعْذَارِ وَلَا عَلَى ذَوِي الْعَاهَاتِ (الْأَعْمَى وَالْأَعْرَجِ وَالْمَرِيضِ) حَرَجٌ أَنْ يَأْكُلُوا مَعَ الْأَصِحَّاءِ، فَإِنَّ الله تَعَالَى يَكْرَهُ الكِبْرَ وَالْمُتَكَبِّرِينَ وَيُحِبُّ مِنْ عِبَادِهِ التَّوَاضُعَ. [8]

 

Artinya, “Substansi firman Allah Ta’ala (Surat An-Nur ayat 61) adalah bahwa tidak ada dosa bagi orang-orang yang punya uzur dan keterbatasan (tunanetra, pincang, sakit) untuk makan bersama orang-orang yang sehat (normal), sebab Allah Ta’ala membenci kesombongan dan orang-orang sombong dan menyukai kerendahhatian dari para hamba-Nya.”

Bahkan dari penafsiran ini menjadi jelas bahwa Islam mengecam sikap dan tindakan diskriminatif terhadap para penyandang disabilitas. Terlebih diskriminasi yang berdasarkan kesombongan dan jauh dari akhlaqul karimah.

Al-Maraghi menyebutkan sebab turunnya ayat ini bahwasanya kaum muslimin merasa kesulitan untuk makan bersama orang buta, karena dia tidak dapat melihat tempat makanan yang baik, bersama orang yang pincang karena dia tidak dapat berebut makanan, dan bersama orang sakit, karena dia tidak menikmati makanan.[9]

Sedangkan Quraish Shihab menyatakan ada dua pendapat tentang sebab turunnya ayat di atas, pendapat yang pertama seperti halnya yang dikemukakan Al-Maraghi. Sedang pendapat yang lainnya bahwa ada beberapa orang yang enggan makan bersama yang lain karena mereka merasa jijik dengan yang berpenyakit, merasa rikuh makan bersama yang buta, merasa kesempitan tempat duduk karena yang pincang. Ayat ini turun untuk menegur orang-orang tersebut, dan menyatakan bahwa hal tersebut bukanlah alasan untuk enggan makan bersama yang lain, atau berkunjung ke rumah-rumah kaum muslimin terutama orang-orang yang buta, pincang dan sakit.[10]

Tiga bentuk difabilitas yang terdapat pada ayat di atas merepresentasikan semua jenis difabilitas. Handicap diwakili oleh difabel netra, kecelakaan (kehilangan salah satu anggota tubuh) dipresentasikan oleh pincang, dan orang sakit menggambarkan bentuk difabel lainnya. Ayat ini mengizinkan orang-orang dengan kondisi fisik tertentu untuk tidak ikut berperang.[11]

Sebagai bentuk penghargaan terhadap kaum difabel, Rasulullah SAW juga menganjurkan mempercepat bacaan karena pertimbangan ma’mūm yang difabel:

Hadis dari Abī Mas’ūd, ia berkata: Seorang laki-laki mengadu kepada Rasulullah Saw: “Saya terlambat mengikuti salat subuh berjamaah di mana imamnya sangat panjang bacaannya. “Lalu Rasulullah marah dan aku tidak pernah melihat Rasulullah semarah itu. Rasulullah Saw lalu bersabda, “Wahai manusia, sesungguhnya di antara kamu sekalian ada yang sekelompok orang (yang berbeda). Maka siapa yang menjadi imam, maka ringkaskanlah (bacaan). Sesungguhnya di antara makmun ada orang-orang yang lemah, lanjut usia, dan orang yang memiliki hajat. (HR. Al-Bukhāri & Muslim) [12]

 

berbicara mengenai penyandang cacat fisik, ditemui bahwa ayat-ayat tersebut justru merujuk pada makna perlindungan dan pengayoman. Surat ‘Abasa [80]: 1-2 misalnya, secara umum berisi teguran atas sikap Rasul Saw. yang tidak ramah terhadap seorang penyandang cacat yang datang padanya.[13]

عَبَسَ وَتَوَلَّى (1) أَنْ جَاءَهُ الْأَعْمَى (2)

“Dia (Muhammad) bermuka masam dan berpaling. Karena telah datang seorang buta kepadanya”. (Q.S : Abasa {80} : 1-2)

 

Mayoritas ulama tafsir menjelaskan bahwa ayat ini turun berkenaan dengan kedatangan seorang buta (tunanetra), bernama ‘Abdullâh bin Ummi Maktûm kepada Rasulullah Saw. menyela pembicaarannya untuk mendapatkan keterangan tentang agama Islam, sedangkan saat  itu Rasulullah Saw. tengah sibuk menerima para pembesar Quraisy – menurut al-Zamakhsyarî, di antara pembesar Quraisy yang hadir saat itu adalah ‘Utbah dan Syibah bin Rabî’ah, Abû Jahal bin Hisyâm, ‘Abbâs bin ‘Abdul Muthallib, Umayyah bin Khalaf dan alWalîd bin al Mughîrah[14] – dengan harapan mereka akan mendapatkan hidayah dan memeluk agama Islam. Dalam keadaan demikian, kontan saja Rasul Saw. menunjukkan sikap acuh dan mimik yang masam. Sehingga turunlah ayat ini untuk menegur sikap Rasul Saw tersebut.[15]

Dalam ayat ini, Rasulullah ditegur langsung oleh Allah Swt karena telah mengabaikan seorang tunanetra dan bermuka masam kepadanya. Bertolak dari hal tersebut, Allah Swt. Memerintahkan kepada Rasulullah agar tidak mengkhususkan pemberian peringatan tersebut hanya kepada seorang saja. Tetapi hendaklah beliau bertindak sama kepada orang mulia, orang lemah, orang miskin, orang kaya, orang terhormat, hamba sahaya, laki – laki, perempuan, anak – anak, dan orang dewasa. Kemudian Allah Swt memberikan petunjuk kepada siapa yang Dia kehendaki ke jalan yang lurus. Dia-lah yang memiliki hikmah yang memadai dan hujjah yang pasti.[16]

Di sisi lain, ayat ini memberikan dukungan moral serta tanggung jawab kepada Rasul Saw. agar tidak mengabaikan kelompok masyarakat yang dianggap memiliki strata sosial rendah. Lebih dari itu, kesahajaan dan perhatian Rasul Saw. terhadap wong cilik sejatinya merupakan sikap arif serta keteladanan yang menjadi pegangan dan panutan bagi pemimpin masyarakat.

Selain itu, teguran atas tindakan Nabi Saw. yang berpaling dan menunjukkan ekspresi tidak senang juga memiliki hikmah besar, di antaranya adalah untuk membesarkan hati para penyandang cacat, dan orang-orang yang terbatas lainnya seperti fakir dan miskin. Dengan teguran ini tentu menunjukkan bahwa kedudukan berdasarkan materi tidak selamanya baik, boleh jadi seorang dengan segala keterbatasannya memiliki kedudukan yang lebih mulia di sisi Allah SWT.[17]

Perlindungan terhadap kaum difabel juga diperlihatkan oleh al-Qur’an dalam ayat lainnya dengan memberikan keringanan, seperti surat al Fath [48]: 17:

لَيْسَ عَلَى الْأَعْمَى حَرَجٌ وَلَا عَلَى الْأَعْرَجِ حَرَجٌ وَلَا عَلَى الْمَرِيضِ حَرَجٌ وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ يُدْخِلْهُ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ وَمَنْ يَتَوَلَّ يُعَذِّبْهُ عَذَابًا أَلِيمًا (17)

“Tiada dosa atas orang-orang yang buta dan atas orang-orang yang pincang dan atas orang-orang yang sakit (apabila tidak ikut berperang). Dan barangsiapa yang taat kepada Allah dan Rasul-Nya, niscaya Allah akan memasukkannya ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, dan barang siapa yang berpaling niscaya akan di azab-Nya dengan azab yang pedih”.(QS. Al-Fath [48]: 17)

 

Ayat ini turun berkenaan dengan keresahan orang-orang yang memiliki keterbatasan fisik, baik karena cacat fisik maupun karena sakit, dalam melaksanakan perintah berjihad yang sesungguhnya diarahkan kepada orang munafik yang enggan berjuang, meskipun kondisi fisik mereka sangat memungkinkan. Karena adanya ancaman al-Qur’an terhadap kelompok yang tidak mau berjuang dan berjihad di jalan Allah, sekelompok orang yang secara fisik memiliki keterbatasan merasa resah, lalu mengadu kepada Rasulullah Saw, langkah terbaik apa yang seharusnya mereka ambil. Dengan keresahan ini maka turunlah surat al-Fath ayat 17.[18]

Ayat ini juga menjadi indikator penghargaan Islam terhadap kelompok yang memiliki keterbatasan fisik. Kemampuan seseorang tidak bisa diukur dengan kesempurnaan fisik, melainkan banyak faktor lain yang turut menentukan. Oleh karena itu, tidak ada pijakan teologis maupun normatif dalam Islam untuk mentolelir tindakan diskriminatif terhadap siapapun, termasuk para penyandang difabel.

Sejarah juga membuktikan bahwa Islam memberikan sikap positif terhadap difabel sehingga lahir tokoh-tokoh terkenal dari kalangan difabel. Rasulullah juga dikenal sebagai pemimpin yang banyak memberikan tugas dan posisi penting kepada para difabel sehingga mereka dapat terlibat dalam masyarakat. misalnya Ibn Ummi Maktūm. Nama lengkapnya adalah Abdullah bin Amr bin Qais bin Zāidah bin Jundub bin Haram bin Rawāhah bin Hajr bin Mā’iṢ bin ‘Amir bin Luay al-Quraisy. Ia adalah anak dari paman Khadijah. Ibn Ummi Maktūm buta sejak lahir sehingga ibunya diberi kuniyah Ummi Maktūm. Ia termasuk sahabat muhajir yang pertama yang hijrah ke Madinah sebelum Nabi Saw hijrah. Ibn Ummi Maktūm wafat sekitar tahun 14 atau 15 Hijriah.[19] Ibn Ummi Maktūm pernah menduduki posisi-posisi penting pada saat itu, misalnya sebagai mu’āzin:

Hadis dari Sālim bin ‘Abdullāh, dari bapaknya bahwa Rasulullah Saw telah bersabda: “Sesungguhnya Bilal azan pada malam hari. Maka makan dan minumlah hingga Ibn Ummi Maktūm azan.” Kemudian mengatakan bahwa Ibn Ummi Maktūm adalah seorang buta dan ia tidak akan azan hingga ada yang mengatakan kepadanya aṢbaḥat aṢbaḥat.[20](HR. Bukhāri)

 

Ibn Ummi Maktūm juga pernah menjadi imam shalat menggantikan Nabi ketika beliau sedang tidak berada di Madinah:

Hadis dari Anas, bahwa Nabi SAW meminta Ibn Ummi Maktūm menggantikannya untuk menjadi imam dan ia dalam keadaan buta. [21] ( HR. Abū Dāud,)

 

Dalam  al-Qur’an, kedudukan seorang hamba di sisi Allah itu sama ketakwaanlah yang membedakannya, ia yang  menjadi tolok ukur kemuliaan seseorang, lepas dari status sosial, kesempurnaan fisik, warna kulit, ras serta kebangsaan seseorang. Ayat tersebut memberi legitimasi akan prinsip kesetaraan yang diajarkan Islam untuk menjauhkan diri dari sistem kelas atau strata sosial lainnya. Dengan demikian, kelompok difabel secara sosial diakui keberadaannya oleh Islam sebagai bagian dari umat secara umum, serta mereka memiliki hak dan kewajiban yang sama sesama muslim. Hal ini juga dikuatkan dengan sabda rasullah SAW dalam hadits;

عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « إِنَّ اللَّهَ لاَ يَنْظُرُ إِلَى صُوَرِكُمْ وَأَمْوَالِكُمْ وَلَكِنْ يَنْظُرُ إِلَى قُلُوبِكُمْ وَأَعْمَالِكُمْ ».[22]

Hadis diriwayatkan dari Abu Hurairah RA, Rasulullah Saw bersabda: “Sesungguhnya Allah tidak melihat kepada bentuk dan harta kalian, akan tetapi Allah melihat kepada hati dan perbuatan kalian”. (HR. Muslim).

 

Dengan demikian, “kesatuan penciptaan” seharusnya juga mengimplikasikan bahwa semua manusia memiliki martabat yang sama. Silakan periksa juga juga Q.S. al-An‘ām (6): 102, Q.S. al-Ra‘du (13): 16, Q.S. Fāṭir (35): 3, Q.S. al-Zumar (39): 2, Q.S. Ghāfir (40): 62, dan al-Ḥasyr (59): 24. Oleh karena itu Allah melarang manusia untuk mengolok-olok dan menghina sesamanya:   

“ Hai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang lakilaki merendahkan kumpulan yang lain, boleh Jadi yang ditertawakan itu lebih baik dari mereka. dan jangan pula sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan lainnya, boleh Jadi yang direndahkan itu lebih baik. dan janganlah suka mencela dirimu sendiri dan jangan memanggil dengan panggilan yang mengandung ejekan. seburukburuk panggilan adalah (panggilan) yang buruk sesudah iman dan siapa yang tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim”. (Q.S. al-Ḥujurāt [49]: 11).

 

Dengan demikian, beberapa ayat dan hadits di atas dapat dijadikan pijakan untuk menolak anggapan sebagian masyarakat bahwa penyandang cacat adalah kutukan, pembawa aib serta abnormalitas yang diakibatkan oleh hal-hal yang tidak rasional. Sebaliknya, difabel merupakan bagian dari takdir seseorang yang tidak seorangpun mampu mengelak darinya. Dalam konteks ini, al-Qur’an merupakan rujukan bagi spirit perlindungan Islam terhadap kaum difabel.


BAB III

PENUTUP

 A. Kesimpulan.

Al-Qur’an mengajarkan bahwa semua manusia itu sama, bahkan memerintahkan melindungi serta mengayomi mereka yang lemah dan rawan kepada tindakan diskriminasi. Kepada penyandang disabilitas, mereka harus diberlakukan secara sama dan tanpa stigma negative dalam kehidupan sosial.

Penyandang disabilitas merupakan bagian dari komposisi kehidupan manusia dan Al-Qur’an mengakomodasi keberadaannya. Namun seringkali terjadi ketimpangan sosial dalam hal pengayoman terhadap kaum difabel khususnya di Indonesia. Hal ini dapat dilihat dari masih minimnya program-program maupun visi misi tentang keadilan difabel yang dicanangkan oleh penguasa-penguasa yang bertarung memperebutkan kekuasaan. Padahal, dari tangan politisi inilah kebijakan pemerintah yang pro terhadap difabel dan prasarana yang akses terhadap difabel bisa terwujud. Para peminat kekuasaan itu baru memberikan akomodasi terhadap difabel manakala muncul desakan-desakan dari masyarakat. Di sinilah dibutuhkan kebijakan pemerintah yang bisa mendorong terbukanya akses bagi kaum difabel.

Jika diperhatikan ayat-ayat Al-Qur’an yang berbicara mengenai cacat fisik, dapat ditemui bahwa ayat-ayat tersebut memiliki makna perlindungan dan pengayoman. Dengan adanya ayat-ayat Al-Qur’an yang membela kepada kaum lemah terutama pada penyandang disabilitas, maka dapat dipahami pula adanya hukum wajib bagi adanya kesamaan (al-musawaah) dalam Islam, terutama dalam memberi penyampaian dakwah dan peringatan-peringatan agama tanpa membeda-bedakan strata sosialnya.

Tidak ada satupun ditemukan sumber-sumber informasi syar’i yang membenarkan perlakuan diskriminatif bagi kelompok ini, dengan kata lain, Al-Qur’an meniadakan stereotip dan mendorong pemberdayaan kelompok difabel. Dengan adanya sikap ramah dan pemberdayaan bagi kelompok difabel diharapkan akan menciptakan kemandirian dan terpenuhinya hak-hak kesamaan bagi mereka. Karena fakta membuktikan bahwa sudah banyak penyandang difabel yang mampu mencapai prestasi yang tidak kalah dengan orangorang yang fisiknya sempurna.

 

DAFTAR PUSTAKA

Abu Abdillah Muhammad Bin Ismâîl al-Bukhari, Shahîh al-Bukhâri, Kitāb al-Jamā‘ah wa al-Imāmah, Bāb Man Syakā Imāmahu iża Ṭawwala, (Dar Thauq an-Najah, 1422 H),

Abu Daud as-Sijistani, Sunan Abi Daud, (Bairu: Dar al-Fikr),  

Abû al-Fidâ’ Ismâil bin Katsîr, Tafsîr al- Qur’ân al- ‘Azhîm, jilid 8 (T.tp: Dâr al-Thayyibah, 1999);

Ahmad Mustafa al-Maraghi, Tafsir Al-Maraghi, Jilid 18, terj.Bahrun Abu Bakar dkk,( Semarang, PT Karya Toha Putra Semarang, 1993),

 Khairunnas Jamal, Nasrulah Fatah dan Wilaela: Eksistensi Kaum Difabel dalam Perspektif Al-Qur’an, Jurnal Ushuluddin Vol. 25 No.2, Juli-Desember 2017,

           Ahmad Syalabi, Sejarah Kebudayaan Islam, (Jakarta: al-Husna Zikra, 1997),

           Muhammad Abû Syuhbah, al-Madkhâal li Dirâsah al-Qur’ânal-Karîm (Riyâdh: Dâr al- Liwa’, 1987),

           Tim FKI RADEN, al-Qur’an Kita; Studi Ilmu, Sejarah dan Tafsir Kalamullah (Lirboyo: Lirboyo Press. 2015),

           Muhammad Abû Syuhbah, al-Madkhâal li Dirâsah al-Qur’ânal-Karîm (Riyâdh: Dâr al- Liwa’, 1987),

Muhammad Ali as-Sabuni, Rawaiu al-Bayan fi Tafsir Ayat al-Ahkam, (Bairut : Maktabah al-Ghazali, 1400 H.),

           M Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah; Pesan Kesan dan Keserasian al-Qur’an, vol. 8, (Jakarta, Lentera Hati, 2002),

           Sri Handayana, Difabel dalam Alqur’an, Journal of Disability Studies, Vol. 3, No. 2 Jul-Des 2016,

Muslim Bin Hajja,  Shahih Muslim, Kitāb al-Ṣalāh, Bāb Amr al-Aimmah bi Takhfīf al-Ṣalāh fi Tamām, (Bairut : Dar Al- Jiil,),

           Muhammad bin Ahmad Abî Bakr al-Qurthubî, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân (Beirut: al-Risâlah, 2006),

Abû al-Qâsim Mahmûd al-Zamakhsyarî, al-Kasysyâf ‘an Haqâiq Ghawâmidh al- Tanzîl wa ‘Uyûn al-Aqâwîl fî Wujûh alTa’wîl, jilid 6 (Riyadh: Maktabah al- ‘Abîkân, 1998),

           Jalâl al-Dîn al-Suyuthî, al-Durr al- Mantsûr, jilid 8 (Beirut: Dâr al Fikr, t.th), h

 Al-Imam Abul Fida Isma’il Ibnu Kasir Ad-Dimasyqi, Tafsir al-Qur’ani-l-‘adzim. juz 10. Terj. M. Abdul Ghoffar E.M, dkk ( Jakarta :Pustaka Imam Syafi’I, 2008),

            Wahbah al-Zuhailî, Tafsîr al-Munîr, jilid 15, (Beirut: Dar al-Fikr, 2003),

            Ibn ‘Asyur, Muhammad Tahir. Tafsr al Tahrir wa al Tanwir, (Tunis: Dar al Tunisiyyah, 1984),

 

[1] Kata difabel berasal dari kata different ability atau orangorang berkemampuan berbeda. Istilah ini diciptakan untuk mengganti label disable atau disability, yang berarti penyandang cacat. Kedua kata tersebut jika mengikuti pendefinisian the Sosial Work Dictionary adalah reduksi fungsi secara permanen atau temporer serta ketidakmampuan seseorang untuk melakukan sesuatu yang mampu dilakukan orang lain sebagai akibat dari kecacatan fisik maupun mental. Kosakata ini dianggap diskriminatif dan dianggap mengandung stigma negatif akan para penyandang cacat oleh aktivis gerakan sosial di tahun 1990-an. Lihat : (Perpustakaan Nasional RI: Katalog dalam Terbitan (KDT), Kerja dan ketenaga kerjaan (Tafsir Al-Qur’anTtematik), Jakarta, Lajnah Pentashihan mushaf A-Qur’an, 2010, h.496 )

[2] Khairunnas Jamal, Nasrulah Fatah dan Wilaela: Eksistensi Kaum Difabel dalam Perspektif Al-Qur’an, Jurnal Ushuluddin Vol. 25 No.2, Juli-Desember 2017, h.8.

[3] Khairunnas Jamal, Nasrulah Fatah dan Wilaela: Eksistensi Kaum Difabel dalam Perspektif Al-Qur’an, Jurnal Ushuluddin Vol. 25 No.2, Juli-Desember 2017, h.7.

[4] Ahmad Syalabi, Sejarah Kebudayaan Islam, jilid. I (Jakarta: al-Husna Zikra, 1997), h. 34.

[5] Muhammad Abû Syuhbah, al-Madkhâal li Dirâsah al-Qur’ânal-Karîm (Riyâdh: Dâr al- Liwa’, 1987), h. 228.

[6] Tim FKI RADEN, al-Qur’an Kita; Studi Ilmu, Sejarah dan Tafsir Kalamullah (Lirboyo: Lirboyo Press. 2015), h. 146

[7] Muhammad Abû Syuhbah, al-Madkhâal li Dirâsah al-Qur’ânal-Karîm (Riyâdh: Dâr al- Liwa’, 1987), h. 231.

 

[8] Muhammad Ali as-Sabuni, Rawaiu al-Bayan fi Tafsir Ayat al-Ahkam, (Bairut : Maktabah al-Ghazali, 1400 H.), Juz 2, h.223.

[9] Ahmad Mustafa al-Maraghi, Tafsir Al-Maraghi, Jilid 18, terj.Bahrun Abu Bakar dkk,( Semarang, PT Karya Toha Putra Semarang, 1993), h. 247

[10] M Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah; Pesan Kesan dan Keserasian al-Qur’an, vol. 8, (Jakarta, Lentera Hati, 2002), h. 615

[11] Sri Handayana, Difabel dalam Alqur’an, Journal of Disability Studies, Vol. 3, No. 2 Jul-Des 2016, h.11

[12] Abu Abdillah Muhammad Bin Ismâîl al-Bukhari, Shahîh al-Bukhâri, Kitāb al-Jamā‘ah wa al-Imāmah, Bāb Man Syakā Imāmahu iża Ṭawwala, (Dar Thauq an-Najah, 1422 H),  no704, juz 2, h. 115. Muslim Bin Hajja,  Shahih Muslim, Kitāb al-Ṣalāh, Bāb Amr al-Aimmah bi Takhfīf al-Ṣalāh fi Tamām, (Bairut : Dar Al- Jiil,), no. 1072, juz 2, h.42.

[13] Abû al-Fidâ’ Ismâil bin Katsîr, Tafsîr al- Qur’ân al- ‘Azhîm, jilid 8 (T.tp: Dâr al-Thayyibah, 1999); h. 320, lihat juga Muhammad bin Ahmad Abî Bakr al-Qurthubî, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân (Beirut: al-Risâlah, 2006), h. 69.

[14] Abû al-Qâsim Mahmûd al-Zamakhsyarî, al-Kasysyâf ‘an Haqâiq Ghawâmidh al- Tanzîl wa ‘Uyûn al-Aqâwîl fî Wujûh alTa’wîl, jilid 6 (Riyadh: Maktabah al- ‘Abîkân, 1998), h. 313.

[15] Jalâl al-Dîn al-Suyuthî, al-Durr al- Mantsûr, jilid 8 (Beirut: Dâr al Fikr, t.th), h. 416.

[16] Al-Imam Abul Fida Isma’il Ibnu Kasir Ad-Dimasyqi, Tafsir al-Qur’ani-l-‘adzim. juz 10. Terj. M. Abdul Ghoffar E.M, dkk ( Jakarta :Pustaka Imam Syafi’I, 2008), h. 255.

[17] Wahbah al-Zuhailî, Tafsîr al-Munîr, jilid 15, (Beirut: Dar al-Fikr, 2003), h.430.

[18] Imam al-Suyuthî menukil riwayat al- Thabaranî dari jalur Zaidbin Tsâbit, lihat Jalâl al-Dîn al-Suyuthî, h.521. Sedangkan Wahba al-Zuhaili menukil riwayat yang bersumber dari Ibnu ‘Abbâs, lihat Wahbah al-Zuhailî, Tafsîr al Munîr, jilid 13, 495.

[19] Ibn ‘Asyur, Muhammad Tahir. Tafsr al Tahrir wa al Tanwir, (Tunis: Dar al Tunisiyyah, 1984), h.104

[20] Muhammad Bin Ismâîl al-Bukhari, Shahîh al-Bukhâri, Kitāb al-Ażān, Bāb Ażān al-A’ma Iża Kāna Lahu Man Yukhbiruhu,  no. 617, juz 2, h.29.

[21] Abu Daud as-Sijistani, Sunan Abi Daud, (Bairu: Dar al-Fikr), Kitāb al-Ṣalah, Bāb Imāmah al-A’ma, Hadis no. 595, juz 1, h. 218.

[22]  Muslim Bin Hajja,  Shahih Muslim, Kitāb al-Birr wa al-Ṣilah wa al-Ādab, Bāb Taḥrīm Zulm alMuslim wa Ḥazlihi wa Iḥtiqārihi wa Dammihi wa ‘Irḍihi wa Mālihi, Hadis no. 6708, juz 8, h.11.

 

 IMG HT Muhayah.JPG Oleh :

Dra. Hj. Muhayah, S.H., M.H.


| PTA BANTEN, JAWARA HEBAT & BERMARTABAT