Pemikiran Ekonomi Islam Abul Ala Maududi [Ahyar Siddiq, S.E.I., M.H.I]

LogoWeb4

*** TERIMA KASIH UNTUK TIDAK MEMBERIKAN IMBALAN DALAM BENTUK APAPUN KEPADA APARATUR PENGADILAN TINGGI AGAMA BANTEN. WASPADA TERHADAP MODUS PENIPUAN YANG MENGATASNAMAKAN PIMPINAN, HAKIM, PEJABAT DAN SELURUH PEGAWAI PENGADILAN TINGGI AGAMA BANTEN DALAM PELAKSANAAN PELAYANAN ***

on . Dilihat: 3526

PEMIKIRAN EKONOMI ISLAM ABUL ALA MAUDUDI

Pendahuluan

Islam telah meletakkan beberapa prinsip dan menetapkan batasan-batasan tertentu untuk melaksanakan kegiatan ekonomi sehingga segala bentuk produksi, pertukaran dan distribusi kekayaan dapat serupa (conform) dengan ukuran Islam mengenai keadilan dan persamaan. Islam tidak membentuk metode-metode dan tehnik-tehnik yang berubah-ubah menurut waktu atau dengan detail-detail dari bentuk-bentuk dan alat-alat organisasi tetapi Islam membentuk metode-metode yang cocok pada setiap zaman dan sesuai dengan kebutuhan-kebutuhan masyarakat serta tuntutan situasi ekonomi. Jadi, Islam bertujuan bahwa apapun bentuk atau mekanisme kegiatan ekonomi itu, harus mendapat tempat yang tetap dan penting dalam setiap kegiatan, keadaan dan zaman. [1]

Dalam sudut pandang Islam, tidaklah boleh merintangi atau menghalangi seseorang, suatu suku atau kelas untuk dapat memperoleh bahan atau barang tertentu untuk hidup atau menduduki jabatan-jabatan tertentu. Semua manusia berhak atas kesempatan-kesempatan yang sama dalam dunia ekonomi, Begitu juga Islam tidak akan mensahkan perbedaan yang mengakibatkan lahirnya suatu monopoli perseorangan, suku, kelas atau golongan rakyat tertentu terhadap barang-barang makanan dan kehidupan manusia.

Terlepas dari permasalahan di atas, ada suatu fakta menarik yang menerangkan bahwa teori ekonomi modern (Kapitalis dan Sosialis) yang berkembang saat ini merupakan “pencurian” dari teori-teori yang dikemukan dan ditulis oleh para pemikir Muslim. Sayangnya, hal ini tidak banyak diketahui karena teori-teori yang dikembang oleh para pemikir Barat tidak menyebutkan rujukan-rujukan pemikirannya, yang kemungkinan besar berasal dari kitab-kitab klasik keilmuan Islam.

Joseph Shcumpeter, misalnya, mengatakan adanya “Great Gap” dalam sejarah pemikiran ekonomi selama 500 tahun yaitu pada masa yang dikenal sebagai the dark ages. Dalam karyanya “History of Economic Analysis”, beliau menegaskan bahwa pemikiran tentang ekonomi timbul pertama kali pada zaman Yunani kuno pada abad 4 SM dan bangkit kembali pada abad 13 M di tangan pemikir Skolastik Thomas Aquinas.[2] Pada periodisasi sejarah Islam, masa kegelapan Barat tersebut adalah masa kejayaan dan kegemilangan Islam. Hal ini yang berusaha ditutupi oleh sebagian besar pemikir Barat karena pemikiran yang berkaitan tentang ekonomi Islam telah banyak dijadikan rujukan-rujukan dan referensi Pemikir Barat.

Abul A'la Maududi, disamping sebagai tokoh pergerakan yang banyak berbicara tentang politik, ia juga banyak berbicara tentang ekonomi. Kepeduliannya terhadap problem umat dituangkan dalam butir-butir pemikirannya tentang prinsip-prinsip Ekonomi Islam yang tertuang dalam kumpulan risalahnya yang sudah dibukukan seperti Economic System of Islam, Economic Problem of Man and It’s Islamic Solution, Way of Life dan lain-lain.

Dalam bukunya, Maududi telah menjelaskan bahwasanya Islam telah meletakkan beberapa prinsip dan menetapkan batasan-batasan tertentu untuk melaksanakan kegiatan ekonomi sehingga segala bentuk produksi, pertukaran dan distribusi kekayaan dapat serupa (conform) dengan ukuran Islam.[3] Islam tidak membentuk metode-metode dan tehnik-tehnik yang berubah-ubah menurut waktu atau dengan detail-detail dari bentuk-bentuk dan alat-alat organisasi tetapi Islam membentuk metode-metode yang cocok pada setiap zaman dan sesuai dengan kebutuhan-kebutuhan masyarakat serta tuntutan situasi ekonomi. Jadi, Islam bertujuan bahwa apapun bentuk atau mekanisme kegiatan ekonomi itu, harus mendapat tempat yang tetap dan penting dalam setiap kegiatan, keadaan dan zaman.

Latar Belakang Pemikiran Abul A’la Maududi

Pemikiran Maududi didasarkan keyakinannya bahwa Islam bukanlah sekumpulan gagasan yang tidak saling berkaitan satu sama lain, tetapi Islam adalah agama yang paripurna, sempurna, dan satu kesatuan bulat yang didasarkan pada prinsip-prinsip yang jelas dan pasti. Semua ajarannya, baik yang pokok maupun yang terinci secara logis digali dari prinsip-prinsip dasar dan tidak terlepas dari ikatan prinsip tersebut. Semua hukum dan peraturan yang ada dalam Islam diberbagai sektor kehidupan merupakan hasil renungan, pengembangan dan pencerminan dari prinsip-prinsip dasarnya. Dari prinsip-prinsip dasar inilah semua rancangan kehidupan Islam muncul dan berkembang, sehingga segala aspek yang akan dikaji tidak bisa lepas dari pengkajian prinsip dasarnya.[4]

Berangkat dari fakta dan realita inilah, kemudian al-Maududi membahas masalah-masalah sosio-politik, sistem ekonomi dan lain-lain. Menurutnya, titik pijak semua masalah seperti sosio-politik dan ekonomi adalah Tauhid[5]; yakni beriman terhadap keesaan dan kekuasaan Allah SWT. Inilah yang menjadi landasan utama sistem sosial dan moral, sebagaimana telah diajarkan oleh para rasul. Dari prinsip tauhid inilah, kemudian al-Maududi menjelaskan bahwa tidak seorangpun diberi wewenang untuk memberi perintah dan aturan-aturan semaunya sendiri atas sesamanya.

Menurut pandangannya, Allah SWT. telah menciptakan bumi beserta isinya untuk umat manusia. Jadi, adalah hak bagi setiap makhluk manusia untuk berusaha dan memperoleh bagian dari rizki yang dilimpahkan ke dunia ini. Semua manusia sama-sama menikmati hak ini dan tiada seorang pun boleh mengambil hak orang lainnya, juga tidak seorangpun boleh diberi prioritas atas hak orang lain. Oleh karena itu, tidaklah boleh merintangi atau menghalangi seseorang, suatu suku atau kelas untuk dapat memperoleh bahan atau barang tertentu untuk hidup atau menduduki jabatan-jabatan tertentu. Semua manusia berhak atas kesempatan-kesempatan yang sama dalam dunia ekonomi, begitu juga Islam tidak akan mensahkan perbedaan yang mengakibatkan lahirnya suatu monopoli perseorangan, suku, kelas atau golongan rakyat tertentu terhadap barang-barang makanan dan kehidupan manusia.[6]

Hak dan kewenangan dalam hal ini hanya milik Allah SWT. semata. Pendapatnya ini dilandaskan pada ayat-ayat berikut:

...... إِنِ الْحُكْمُ إِلاَّ ِللهِ أَمَرَ أَلاَّ تَعْبُدُوا إِلاَّ إِياَّهُ ذَلِكَ الدِّيْنُ اْلقَيِّمُ ........ (سورة يوسف / 12: 40)

"…… Kewenangan hanyalah milik Allah. Ia memerintahkan agar kamu hanya menyembah kepada-Nya itulah agama yang benar …...(Q.S. Yusuf /12: 40)

..... يَقُوْلُوْنَ هَلْ لَّناَمِنَ اْلأَمْرِ مِنْ شَيْئٍ قُلْ إِنَّ اْلأَمْرَ كُلَّهُ ِللهِ......... (سورة ال عمران / 3: 154)

"Mereka bertanya: apakah kami juga memiliki kewenangan? Katakanlah: sesungguhnya kewenangan itu hanya milik Allah semata" ……… (Q.S. Ali Imran/3: 154)

وَلاَ تَقُوْلُوْا لِمَا تَصِفُ اَلْسِنَتُكُمُ اْلكَذِبَ هَذَا حَلاَلٌ وَهَذَاحَرَمٌ ........ (سورة النحل / 16: 116)

"Janganlah mulutmu lancang dengan mengatakan secara dusta, yang ini halal dan yang ini haram …….. (Q.S. an-Nahl/16: 116)

وَمَنْ لمَّ ْيَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللهُ فَأُولَئِكَ هُمُ اْلكَافِرُوْنَ (سورة المائدة / 5: 44)

"Barang siapa yang menegakkan dan memutuskan suatu perkara tidak berdasarkan apa yang telah diwahyukan Allah, maka mereka termasuk orang-orang yang kafir"(Q.S. al-Maidah/5: 44)

Berdasarkan dalil ini, dapat dimengerti bahwa kedaulatan hanya ada di tangan Allah. Dia sendirilah yang mempunyai kewenangan memberikan hukum. Tidak seorangpun, meskipun seorang rasul, berhak memerintah orang lain sekehendak hatinya sendiri untuk melakukan atau melarang segala sesuatu. Adalah hak semua orang untuk berusaha dan memperoleh bagian mereka dari bahan-bahan hidup yang telah dikaruniakan Tuhan bagi manusia di atas bumi ini. Islam menjamin, bahwa dalam usaha semua manusia diberi kesempatan-kesempatan yang sama dan fair chances yang sama pula bagi semua orang.[7]

Jadi, pendapat-pendapat Maududi yang melatarbelakangi pemikiran-pemikirannya antara lain adalah:

  1. Asas terpenting dalam Islam adalah Tauhid. Seluruh nabi dan rasul mempunyai tugas pokok untuk mengajarkan tauhid kepada umat manusia. Tauhid itu sangat revolusioner dan mempunyai implikasi yang amat jauh dalam mengubah tata sosial, politik dan ekonomi.
  2. Sistem politik Demokrasi memiliki kelemahan, yakni kelompok penguasa bisa saja bertindak atas nama rakyat, meskipun bukan untuk rakyat melainkan untuk dirinya sendiri. Jika kekuasaan mutlak untuk membuat legislasi berada di tangan rakyat, tidak mustahil tindakan non-manusiawi menjadi legal bila rakyat menghendakinya dan begitu pula sebaliknya. Menurut al-Maududi, Islam dapat menghindarkan kelemahan itu karena Islam menolak sistem kedaulatan rakyat dan mengembangkan teori politik atas dasar kedaulatan Tuhan dan berbentuk khilafat (kekhalifahan). Untuk itu Maududi mengemukakan teori yang sangat genuin, yaitu konsep politik dan pemerintahan dalam Islam adalah Theo Democrasi. Konsep ini memberikan kedaulatan kepada rakyat, namun kedaulatan itu tidak mutlak karena dibatasi oleh norma-norma yang ditetapkan oleh Tuhan.[8]
  3. Penyebab kemerosotan ekonomi adalah egoisme dan sistem politik yang tidak benar. Untuk itu Ia mengajukan tiga kaidah dalam pemecahan dalam masalah ekonomi, yaitu:
    1. Pemecahannya jangan sampai bertentangan dengan fitrah manusia.
    2. Perbaikan sosial bukan hanya menyangkut hukum tetapi juga akhlak.
    3. Pemerintah jangan menggunakan kekerasan kecuali bila itu merupakan satu-satunya alternatif.[9]

Pemikiran-pemikiran al-Maududi hampir menjamah semua aspek ajaran Islam sehingga dalam pemikirannya ditemukan, Islam adalah pedoman hidup yang lengkap.

Konsep Ekonomi Islam Menurut Abul A’la Al-Maududi

Al-Maududi menerangkan bahwa Islam memiliki sebuah sistem ekonomi, tetapi bukan berarti Islam menerangkan sebuah sistem yang permanen dan lengkap dengan detil-detilnya. Apa yang ditunjukkan oleh Islam adalah landasan-landasan dan peraturan-peraturan dasar untuk menyusun sebuah rancangan ekonomi yang sesuai dengan segala zaman berdasarkan al-Quran dan Hadits.[10]

Islam mengakui seluruh prinsip alami dari segi ekonomi penghidupan yang merupakan dasar dari ekonomi umat manusia. Hanya saja prinsip-prinsip yang salah harus dibuang dengan memberikan pendidikan moral semaksimal mungkin tanpa paksaan dari pihak manapun sehingga keadilan akan merata.

Adapun prinsip bahwa manusia hendaklah bebas berusaha mencari penghidupan dan mempertahankan hak, Islam berusaha mengarahkan hak-hak ini dengan memberikan sejumlah pembatasan dalam praktek pelaksanaannya dengan tujuan agar hak-hak itu tidak disalahgunakan dan tidak dipakai sebagai alat untuk menindas golongan lemah dalam masyarakat.[11]

Dalam segala aspek kehidupan, mulai dari urusan pribadi sampai budaya dan masalah sosial, Islam menentukan landasan yang sama untuk pedoman manusia dan mempergunakannya juga ke dalam sistem ekonomi. Jadi, di bidang ekonomi, Islam telah membuat beberapa peraturan dan menyusun sejumlah batasan berdasarkan al-Qur’an dan Sunnah yang menjadi tolak ukur untuk menyimpulkan peraturan-peraturan baru yang berkaitan dengan kehidupan masyarakat di bidang ekonomi.

  1. 1.Tujuan Organisasi Ekonomi dalam Islam
  2. Kebebasan Individu

Tujuan yang pertama dan utama dari Islam ialah untuk memelihara kebebasan individu dan untuk membatasinya ke dalam tingkatan yang hanya sesuai dengan nilai-nilai kemanusiaan.[12] Alasan kenapa Islam sangat menjunjung tinggi kebebasan individu, karena Islam menganggap seseorang harus bertanggung jawab secara individu kepada Allah. Pertanggungjawaban ini tidak secara kolektif, tetapi setiap individu bertanggung jawab terhadap perbuatannya. Oleh karena itu, Islam menentukan peraturan ekonomi yang menghasilkan kebebasan secara maksimal terhadap kegiatan ekonomi kepada setiap individu, dan mengikat mereka yang hanya kepada batasan-batasan yang sekiranya penting untuk menjaga mereka tetap pada jalur yang ditentukan. Tujuan semua ini adalah menyediakan kebebasan kepada setiap individu dan mencegah munculnya sistem tirani yang bisa mematikan perkembangan manusia.

  1. Keselarasan dalam Perkembangan Moral dan Materi

Yang kedua, perkembangan moral manusia adalah kepentingan dasar bagi Islam. Jadi penting bagi individu di dalam masyarakat untuk memiliki kesempatan mempraktekkan kebaikan secara sengaja. Maka kedermawanan, kemurahan hati, dan kebaikan lainnya menjadi suatu yang hidup dalam masyarakat. Karena itulah Islam tidak bersandar seluruhnya kepada hukum untuk menegakkan keadilan sosial, tetapi memberikan otoritas utama kepada pembentukan moral manusia seperti iman, taqwa, pendidikan, dan lain-lainnya. [13]

  1. Kerjasama Keserasian, dan Penegakan Keadilan

Yang ketiga, Islam menjunjung tinggi persatuan manusia dan persaudaraan serta menentang perselisihan dan konflik. Maka dari itu Islam tidak membagi masyarakat ke dalam kelas sosial. Jika menengok kepada analisis terhadap peradaban manusia akan kelas sosial terbagi menjadi dua; yang pertama kelas yang dibuat-buat dan tercipta secara tidak adil yang dipaksakan oleh sistem ekonomi, politik dan sosial yang jahat seperti Brahmana, Feodal, Kapitalis.[14] Adapun Islam tidak menciptakan kelas seperti itu dan bahkan membasminya. Yang kedua, kelas yang tercipta secara alami, karena adanya rasa hormat menghormati dan perbedaan kemampuan dan kondisi dari masyarakatnya.

Untuk kelas yang seperti ini Islam tidak menghapusnya secara paksa, atau mengubahnya menjadi keras dan membuatnya saling memusuhi. Akan tetapi Islam mendukungnya dan mengharapkan nantinya akan ada kerjasama di antara individu untuk menciptakan kesempatan yang sama dalam hidup dan bersaing secara sehat. Jadi Islam mengharapkan akan terjadinya kerjasama, keserasian, dan adanya penegakan hukum melalui dasar dan batasan yang diberikan.[15]

Jadi, menurut al-Maududi tujuan dalam ekonomi Islam adalah untuk memelihara kebebasan individu dan membatasinya ke dalam tingkatan yang hanya sesuai dengan nilai-nilai kemanusiaan berdasarkan al-Qur’an dan Sunnah. Karena itulah Islam tidak bersandar seluruhnya kepada hukum untuk menegakkan keadilan sosial tetapi memberikan otoritas utama kepada pembentukan moral manusia seperti iman, taqwa, pendidikan, dan lain-lainnya sehingga persatuan manusia dan persaudaraan pun tercipta.

  1. 2.Prinsip-prinsip Dasar
  2. Kepemilikan Pribadi dan Batasannya (Private Property and Its Limits).

Ajaran Islam mengakui hak manusia untuk mencari penghidupan di atas bumi Allah ini sesuai dengan kesanggupan, kecakapan, dan bakat yang dimilikinya. Akan tetapi, Islam tidak memberikan hak kepada manusia untuk mencari penghidupan dengan cara-cara yang akan menyebabkan timbulnya kekacauan dalam memperoleh harta kekayaan.[16] Ajaran Islam menegakkan perbedaan antara “halal” (yang sah) dan “haram” (tidak sah) dalam menilai berbagai cara yang merugikan dan merusakkan moral. Untuk keperluan ini, Islam menetapkan dengan jelas cara-cara yang dianggap merugikan moral.

Ajaran Islam menetapkan dengan teliti dan menyatakan haram semua cara perdagangan yang sifatnya dapat menyebabkan silang sengketa dalam hal keuntungan dan kerugian didasarkan semata-mata atas adu nasib atau kebetulan belaka, atau hak masing-masing pihak yang bersangkutan tidak dinyatakan dengan tegas. [17]

Apabila dipelajari hukum Islam dengan teliti mengenai perdagangan dan perindustrian, akan kita dapati bahwa cara-cara yang digunakan orang untuk menjadi milyuner dan multi milyuner dalam zaman modern ini kebanyakan adalah cara-cara yang dalam Islam mendapat pembatasan hukum yang sangat keras seperti praktek riba’ yang banyak menyengsarakan manusia. Apabila perdagangan dijalankan dalam batas-batas yang ditentukan agama Islam ini, tidak akan banyak kemungkinannya seseorang mengumpulkan dan menumpukkan kekayaan yang berlebih-lebihan.

Islam mengakui hak seseorang untuk memiliki apa yang diperolehnya dengan jalan halal, tetapi Islam tidak memberikan kebebasan yang mutlak untuk menggunakan kekayaan yang diperolehnya itu. Sebaliknya, Islam meletakkan batas-batas yang jelas dalam penggunaannya, yaitu menggunakan semua penghasilan kita untuk menutupi kebutuhan kita yang halal dan pantas. Apabila terdapat kelebihan, agar diserahkan kepada orang lain sehingga dia dapat pula mencukupi kebutuhannya. Islam menilai sifat ini sebagai sifat yang paling mulia menurut ukuran moral dan mengemukakan dengan tegas sebagai suatu idealisasi dalam hidup.[18]

  1. Hukum Riba untuk Menentang Pertumbuhan Kapitalis

Dengan segala pendidikan moral serta pelaksanaan tekanan moral dari suatu masyarakat yang sudah baik, kita masih belum dapat melenyapkan kecenderungan pribadi terhadap sikap kikir dan serakah. Sejumlah besar manusia senantiasa berkeinginan untuk menanamkan kelebihan hartanya untuk mendapatkan kekayaan yang melebihi serta melampaui kebutuhan hidupnya. Untuk tujuan ini, Islam menentukan sejumlah batasan menurut hukum dalam penggunaan kelebihan harta ini.

Islam melarang dengan keras untuk meminjamkan uang dengan memungut bunga. Apabila uang kita dipinjamkan kepada seseorang, tidak menjadi soal apakah pinjaman itu untuk kepentingan pribadinya atau untuk keperluan usaha dagang, kita hanya berhak atas pengembalian pokok yang dipinjam saja, tidak lebih satu sen pun. Dengan jalan begini, Islam mematahkan tulang punggung kapitalisme serta menumpulkan pisau yang menjadi alat terpenting dari kepitalisme dalam usahanya untuk menumpuk dan memusatkan dalam genggamannya sumber-sumber ekonomi suatu masyarakat dengan jalan mempermainkan modalnya.[19]

  1. Zakat dan Baitulmaal untuk Jaminan Sosial

Apabila umat Islam tidak berbuat seperti dikemukakan di atas dan tetap berkeinginan untuk menumpuk kekayaan itu, sebanyak dua setengah persen setahun akan diambil dari kekayaan itu dengan kekuatan hukum dan akan dibelanjakan bagi mereka yang tidak kuat untuk berjuang dalam lapangan ekonomi atau yang tidak sanggup memperoleh kebutuhan hidupnya sungguhpun mereka sudah berusaha dengan sekuat tenaga. Hal ini dinamakan “zakat”, sedangkan badan administratif yang diajukan oleh Islam untuk zakat ini ialah “Baitulmaal” atau perbendaharaan bersama dari masyarakat yang memungut zakat itu dan yang membagi-bagikannya di kalangan kelompok masyarakat yang membutuhkan dan patut mendapat pertolongan. Ini sebenarnya merupakan bentuk asuransi yang terbaik bagi masyarakat, yang melenyapkan semua keburukan yang timbul karena tidak adanya pengaturan yang tetap bagi keperluan tolong menolong dan kerja sama.[20]

Dalam dunia kapitalis juga terdapat badan-badan seperti asuransi jiwa tetapi maksud dan tujuan dari usaha ini sangat bertolak belakang dengan ajaran Islam karena dalam sistem kapitalis, kehidupan seseorang tergantung sepenuhnya kepada usahanya sendiri. Apabila seseorang tidak menyisihkan barang sedikitpun untuk hari tuanya, dia mungkin menghadapi kelaparan di hari tuanya.

Ajaran Islam melenyapkan segala keburukan ini melalui lembaga “zakat” dan “baitulmaal” untuk memungut dan membagikan zakat itu. Badan perbendaharaan ini tersedia setiap saat bagi rakyat untuk memberikan pertolongan. Ummat Islam tidak perlu menghiraukan hari esok. Apabila umat Islam berada dalam kesulitan, maka umat Islam dapat menghadap pada “baitulmal” ini dan akan menerima yang menjadi haknya. Tidak perlu kita menyimpan uang di bank atau asuransi jiwa. Kaum muslimin dapat meninggalkan dunia ini tanpa rasa takut sedikitpun bagi masa depan anak-anak kita, karena “baitulmal” selanjutnya akan bertanggungjawab terhadap nasib mereka. Lembaga ini adalah penolong yang tetap dan permanen, yang dapat diharapkan perlindungannya dalam masa-masa sakit, hari tua, musibah-musibah karena bencana alam, atau keadaan bagaimanapun.[21] Dengan demikian, kaum kapitalis tidak akan dapat memaksa umat untuk menerima tawaran mereka untuk bekerja di atas syarat-syarat dan kondisi-kondisi yang diajukan mereka. Tidak akan ada bahaya kelaparan, bahaya telanjang tidak berpakaian, bahkan tidak mempunyai rumah tempat berlindung.

Kemudian, perlu dicatat bahwa badan sosial ini akan memberi kemungkinan kepada segenap lapisan masyarakat yang tidak dapat mencari nafkah atau yang mendapatkan nafkah kurang dari kebutuhannya untuk membeli bahan-bahan yang diperlukannya untuk keperluan hidupnya. Dengan demikian, dapatlah dipertahankan suatu keseimbangan yang sehat antara produksi dan konsumsi dan tidak akan terjadi bahwa suatu bangsa memaksakan kebangkrutan kepada bangsa lain.

  1. Hukum Waris (Law of Inheritance)

Di samping zakat terdapat lagi rancangan lain untuk menyebarkan kekayaan yang menumpuk di suatu tempat, yaitu hukum faraid atau hukum warisan.[22]

Semua hukum lain yang mengatur warisan, kecuali hukum Islam mempunyai kecenderungan untuk mengekalkan konsentrasi kekayaan. Sebaliknya Islam mengemukakan cara untuk membagi-bagi kekayaan yang ditumpuk seseorang dengan mengumpulkannya sedikit demi sedikit dari segenap jurusan segera setelah orang itu meninggal dunia. Menurut hukum Islam, anak laki-laki maupun perempuan, ibu atau bapak, isteri, saudara laki-laki dan perempuan, semuanya mempunyai hak atas warisan seseorang, yang harus dibagi di antara mereka sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan.

Apabila tidak terdapat juga keluarga yang dekat maupun yang jauh, dalam keadaan demikian pun seseorang tidak diizinkan menggunakan/adopsi untuk mendapatkan seorang ahli waris. Dalam keadaan begitu, maka seluruh masyarakatlah yang menjadi ahli warisnya dan seluruh kekayaan yang dikumpulkannya akan disimpan dalam “baitulmaal”. Dengan jalan ini, biarpun seseorang telah menumpuk harta berjuta-juta atau bermiliar-miliar, seluruhnya akan disebarkan menjadi bagian-bagian yang kecil setelah dia meninggal dunia di antara dua atau tiga turunan dan setiap penumpukan kekayaan demikian itu akan disebarkan sedikit demi sedikit sesuai dengan suatu tata cara hukum.[23]

  1. Peranan Tenaga Kerja, Modal, dan Pengelolaan (Role of Labour, Capital, Management)

Mengenai hal ini sebenarnya telah dibahas diberbagai bab dalam kitab-kitab fiqh dengan terminologi yang berbeda dari ilmu ekonomi modern. Kitab fiqh tersebut bukanlah suatu yang diperbudak oleh terminologi, tapi benar-benar memahami duduk permasalahan dan membahas permasalahan ekonomi tersebut secara menyeluruh melalui konsep ekonomi yang terkandung dalam kitab fiqh Islam.

Hukum sewa menyewa dan perikatan sebagaimana dikatakan dalam “The Books of Moslem Fiqh” yang membuat pandangan Islam mengenai ketiga hal tersebut menjadi jelas. Sewa menyewa menyatakan bahwa tanah dimiliki oleh seseorang dan dipekerjakan oleh orang lain di mana keduanya merupakan pemegang saham atas produksi dari tanah tersebut. Dengan kata lain, menyatakan bahwa seseorang yang memiliki modal dan pihak lain menggunakan modal tersebut dalam usaha bisnis akan berbagi dalam keuntungan.[24]

Dalam transaksi seperti ini, Islam telah mengenali hak pemilik tanah dan pemodal, begitu juga terhadap pekerja dan pelaku bisnis yang menerangkan secara jelas bahwa Islam menganggap keduanya sebagai faktor ekonomi. Kemudian dari faktor-faktor tersebut harus adil dalam pembagian keuntungan. Intinya Islam melepaskan kepada kebiasaan dalam pembagiannya. Jika di antara faktor tersebut saling berbuat adil, maka hukum tidak bisa mengintervensi dalam urusan mereka. Dan apabila terjadi ketidakadilan, hukum mempunyai hak untuk melakukan intervensi dalam urusan mereka guna menjaga mereka keadilan yang merata.[25]

Jadi apabila terjadi ketidakadilan dalam transaksi seperti ini, hukum tidak hanya boleh berintervensi, akan tetapi juga punya tugas untuk mengarahkan regulasi keadilan dalam distribusi profit di antara modal, tenaga kerja dan pengelolaan.

Analisis Terhadap Konsep Bunga

Al-Maududi telah membahas secara khusus dan memberikan kritik secara rasional terhadap teori bunga, serta membicarakan panjang lebar mengenai aspek-aspek negatif dan menunjukkan kejahatan-kejahatannya secara fundamental.

  1. Aspek Negatif Bunga

Masalah yang pertama kali harus kita putuskan adalah apakah bunga itu merupakan pembayaran yang beralasan? Apakah para kreditor itu adil apabila menuntut untuk membayar bunga atas hutang yang diberikan? Dan adilkah jika penghutang dituntut harus membayar bunga terhadap pemberi pinjaman sesuatu yang melebihi pinjaman pokok? Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tersebut akan menyelesaikan separuh dari masalah bunga.[26] Jika dapat ditunjukkan bahwa bunga tidak dapat dibenarkan baik oleh akal maupun keadilan, lalu mengapa bunga masih menjadi perdebatan. Mengapa peraturan yang tak beralasan tersebut tetap dibiarkan berlangsung berada di tengah masyarakat?

Terdapat perbedaan pendapat yang menyolok di antara para ahli yang mendukung doktrin bunga, yaitu untuk apakah bunga itu dibayarkan? Sebagian mengatakan bunga itu merupakan harga, tetapi harga itu untuk apa? Para pelopor institusi bunga mendapat kesulitan besar untuk memperoleh kesepakatan dalam masalah ini.[27]

  1. a.Teori Piutang Menanggung Resiko

Pelopor teori ini menegaskan bahwa kreditor menanggung resiko karena meminjamkan modalnya. Ia sendiri menangguhkan keinginannya semata-mata untuk memenuhi keinginan orang lain. Ia meminjamkan modalnya yang mestinya dapat mendatangkan keuntungan. Jika penghutang menggunakan modalnya itu untuk memenuhi keinginan pribadinya, ia harus membayar sewa atas modal yang dipinjam itu, sama halnya ia membayar sewa terhadap sebuah rumah atau perabotan maupun kendaraan.[28] Sewa merupakan kompensasi terhadap resiko yang ditanggung oleh kreditor karena memberi pinjaman dan sekaligus imbalan karena ia memberikan pinjaman modalnya. Dan apabila peminjam menginvestasikan modalnya pada usaha-usaha yang dapat memberikan keuntungan, maka tidak berlebihan dan adil apabila pemberi pinjaman menuntut sebagian dari keuntungan tersebut.

Marilah kita analisa maksud daripada “resiko”. Memang benar bahwa pemberi pinjaman menanggung resiko serta mengorbankan sesuatu, apabila ia meminjamkan modalnya kepada peminjam; tetapi dengan cara apapun, hal ini tidak memberikan hak kepada pemberi pinjaman untuk mengenakan harga 5% atau 10% pertahun atas resiko atau pengorbanannya. Pemberi pinjaman mempunyai alasan yang baik untuk menahan jaminan atas harga penghutang atau meminta garansi terhadap resiko yang ditanggungnya; atau jika ia tidak mau melakukan di antara pilihan tersebut, ia tidak mau mengambil resiko sama sekali dan menolak untuk memberikan pinjaman. [29]

Tetapi resiko itu sendiri bukanlah barang komersial yang memunculkan harga, juga bukan sebagai perabotan atau kendaraan yang memungkinkan mendatangkan sewa. Pinjaman dapat dikatakan sebagai pengorbanan sepanjang pinjaman itu tidak dianggap sebagai dagangan karena pinjaman tidak dapat dianggap sebagai pengorbanan maupun barang dagangan. Jika seseorang melakukan pengorbanan moral, maka ia harus puas dengan apa yang ia peroleh secara moral; ia tidak boleh mengatakan sebagai pengorbanan melainkan harus sebagai suatu bisnis. Dan apabila ia menuntut imbalan ekstra yang melebihi modal pokok pertahun atau perbulan, ia harus memberikan alasan atas tindakannya itu dan menjelaskan mengapa ia meminta imbalan semacam itu.

Marilah kita meneliti dua aspek bunga: sebagai imbalan karena menahan diri atau sebagai bayaran sewa. Apakah bunga merupakan imbalan karena menahan diri? Sesungguhnya kreditor hanya meminjamkan sejumlah uang yang berlebih dari yang ia perlukan dan yang tidak digunakan sendiri. Oleh karena itu, tidak boleh dikatakan sebagai imbalan karena ia tidak menahan diri dari sesuatu yang memungkinkan dirinya menuntut imbalan.

Apakah bunga itu dikenakan sebagai pembayaran sewa? Sewa itu hanya dikenakan terhadap barang-barang, seperti rumah, perabotan, alat transportasi dan sebagainya, yang digunakan habis, rusak dan kehilangan sebagian dari nilainya selama digunakan. Biaya sewa yang dibayarkan itu layak terhadap barang yang susut, rusak dan memerlukan biaya perawatan terhadap barang tersebut, tetapi barang-barang seperti makanan, emas, perak atau uang tidak dapat dikategorikan ke dalamnya dan oleh karenanya sewa atasnya tidak punya dasar. [30]

Sebagian besar para kreditor mengatakan bahwa ia memberikan kesempatan kepada peminjam untuk mencari keuntungan dari modalnya sehingga dengan begitu ia harus memberikan sebagian keuntungannya. Tetapi terhadap pinjaman konsumsi, alasan ini tidak berlaku karena peminjam biasanya orang miskin yang mengambil pinjaman untuk mengatasi masa-masa sulit dan tidak ada keuntungan yang dapat dibagikan.

Di dalam pinjaman produktif, terdapat dua kemungkinan yaitu memperoleh keuntungan atau menderita kerugian. Jika peminjam menjalankan bisnisnya mengalami kerugian, bagaimana dan dengan landasan apa kreditor dibenarkan menarik keuntungan tetap secara bulanan atau tahunan dari peminjam? Dan apabila keuntungan yang diperoleh sama atau kurang dari besarnya bunga setiap bulan atau tahun, maka bagaimana kreditor dibenarkan untuk mengambil bagian sedangkan ia sendiri tidak melakukan apa-apa; sementara peminjam yang bekerja keras meluangkan waktunya, tenaga, kemampuan dan modal pribadinya, setelah pengorbanan itu semua, tidak memperoleh apa-apa.[31]

Kalaupun keuntungan yang diperoleh peminjam itu lebih besar dari jumlah bunga yang harus dibayarkan, tidak dibenarkan baik dengan akal, rasa keadilan, prinsip-prinsip perdagangan dan ekonomi bahwa pedagang, industrialis, petani serta faktor-faktor produksi lainnya, yang telah menghabiskan waktu, tenaga, kemampuan dan sumber lain dari pada jasmani dan mentalnya, untuk mengeluarkan atau menyediakan barang-barang kebutuhan masyarakat, yang kemungkinan memperoleh keuntungannya tidak tetap, sedangkan kapitalis memperoleh jaminan bunga yang tetap dan pasti. Semua pihak mempunyai resiko menderita kerugian, tetapi pemilik modal memiliki jaminan bunga yang pasti. Besarnya keuntungan bagi semua agen mengalami naik turun sejalan dengan perubahan harga tetapi bunga bagi kapitalis tetap saja dan dibayar secara tetap setiap bulan atau setiap tahun dalam keadaan bagaimanapun.

Tetapi jika kreditor menginginkan modalnya harus diinvestasikan pada usaha-usaha yang menguntungkan sehingga memungkinkan ia memperoleh keuntungan, satu-satunya cara yang wajar dan praktis baginya adalah dengan memasuki suatu partnership, dengan bisnisman, dan bukannya dengan meminjamkan modal dengan menarik bunga.[32]

  1. b.Teori Peminjam Memperoleh Keuntungan

Para pelopor pemikiran ini mengatakan bahwa dengan “menunggu” atau dengan “menahan diri” dalam suatu periode tertentu dan tidak menggunakan modalnya sendiri untuk memenuhi keinginannya sendiri, kreditor memberikan “waktu” kepada peminjam untuk menggunakan modalnya untuk memperoleh keuntungan. “Waktu” itu sendiri mempunyai “harga” yang meningkat sejalan dengan periode waktu. Jika peminjam tidak diberikan batasan waktu untuk mendapatkan keuntungan dari penggunaan modal yang dipinjamnya, ia tidak akan mampu memperoleh keuntungan dan bahkan seluruh bisnisnya bisa hancur karena kekurangan modal. Masa di mana peminjam menginvestasikan modalnya, mempunyai “harga” tertentu baginya dan ia akan menggunakannya untuk memperoleh keuntungan. Maka tidak ada alasan mengapa kreditor tidak boleh menikmati sebagian dari keuntungan peminjam. Selanjutnya, mereka mengatakan bahwa kemungkinan naik turunnya keuntungan sejalan dengan naik turunnya waktu dan tidak ada alasan mengapa kreditor tidak boleh mengenakan harta (waktu) sesuai dengan lamanya waktu.[33]

Tetapi lagi-lagi pertanyaan bagaimana dan darimana sumbernya kreditor itu mendapatkan informasi bahwa peminjam itu nyata-nyata memperoleh keuntungan dan tidak mengalami kerugian dengan investasi modal pinjamannya itu? Bagaimana ia mengetahui bahwa peminjam itu akan memperoleh keuntungan yang pasti sehingga dengan begitu ia menetapkan bagian keuntungan tersebut? Dan bagaimana pemberi pinjaman dapat memperhitungkan bahwa peminjam pasti akan memperoleh keuntungan yang begitu banyak selama masa modal digunakannya sehingga ia akan mampu membayar harga tertentu secara pasti setiap bulan atau setiap tahun?[34]

Para pendukung teori bunga ini tidak mampu memberikan jawaban yang masuk akal terhadap masalah tersebut.

  1. c.Teori Produktivitas Modal

Sebuah pendapat menegaskan “produktivitas modal” sebagai jumlah yang diwariskan yang memungkinkan kreditor menarik suatu imbalan (dalam bentuk bunga) dari peminjam atas penggunaan modal tersebut.[35]

Ada beberapa ahli ekonomi yang menekankan aspek fungsi modal tersebut dalam produksi. Menurut pandangan tersebut, modal dikatakan “produktif”. Secara jelas ini berarti bahwa “terdapat suatu pasaran terhadap jasa mesin produktif (modal) dan bentuk konkrit modal itu sendiri”. Pendapat ini memandang bahwa modal adalah produktif yang dapat diartikan bahwa modal mempunyai daya untuk menghasilkan barang yang jumlahnya lebih banyak daripada yang dapat dihasilkan tanpa modal itu, atau modal mempunyai daya untuk menghasilkan tanpa modal tersebut, atau bahwa modal mempunyai daya untuk menghasilkan nilai tambah daripada nilai yang telah ada itu sendiri. Dan bunga merupakan imbalan atas pelayanan produktif tersebut atas modal kepada peminjam dalam proses produksi. [36]

Tetapi pernyataan bahwa produktivitas merupakan kualitas yang melekat modal adalah tidak beralasan karena modal menjadi produktif hanya apabila digunakan untuk bisnis yang dapat mendatangkan keuntungan oleh seseorang. Apabila modal digunakan untuk tujuan-tujuan konsumsi, maka modal tidak mempunyai kualifikasi semacam itu.

Meskipun modal digunakan dalam usaha-usaha yang mendatangkan keuntungan, tidak perlu kiranya menghasilkan nilai lebih. Dapat dinyatakan bahwa produktivitas tersebut merupakan kualitas yang melekat pada modal. Sering terjadi, terutama dalam keadaan ekonomi yang merosot, penanaman modal tidak hanya menipiskan keuntungan tetapi ternyata melibatkan keuntungan menjadi kerugian.[37]

Jika modal dianggap memiliki produktivitas, produktivitas tersebut tergantung pada berbagai faktor yang lain. Penanaman yang dapat mendatangkan keuntungan banyak tergantung pada tenaga kerja, kemampuan, pandangan yang jauh dan pengalaman orang yang menggunakannya di samping kestabilan ekonomi, sosial dan politik suatu negara. Faktor-faktor tersebut dan faktor-faktor sejajar yang lain merupakan syarat bagi penanaman modal yang dapat mendatangkan keuntungan. Apabila persyaratan tersebut tidak terpenuhi, keuntungan yang diharapkan dari penanaman modal tersebut berubah menjadi kerugian.[38]

Jika diakui bahwa modal itu memiliki suatu kualitas produktivitas yang diberikan kepada pemilik modal sebagai bagian keuntungan, tidak ada cara untuk mengetahui secara tepat dan pasti jumlah yang sebenarnya dari keuntungan yang dibayarkan setiap bulan atau setiap tahun. Di samping itu, tidak ada metode untuk menghitung atau memperkirakan keuntungan dari penggunaan modal untuk jangka waktu sepuluh atau dua puluh tahun yang akan datang sehingga memungkinkan untuk dapat menetapkan jangka waktu bunga.

Karena demikian halnya, tidak adil kiranya mengenakan sejumlah bunga terhadap sejumlah uang yang dipinjamkan di muka untuk jangka waktu sepuluh atau dua puluh tahun jika besarnya keuntungan aktual yang dapat diperoleh di masa yang akan datang tidak diketahui.[39]

  1. d.Teori Nilai Barang di masa mendatang lebih rendah dibandingkan nilai barang di masa sekarang

Beberapa ahli ekonomi berpendapat bahwa manusia pada dasarnya lebih mengutamakan kehendaknya di masa sekarang serta kepuasan sekarang daripada yang akan datang. Para ahli tersebut menjelaskan fenomena bunga dengan suatu rumusan yang sangat dikenal dengan “menurunkan nilai barang di waktu mendatang dibanding dengan nilai barang di waktu kini”. Singkatnya, bunga dapat dianggap sebagai agio yang diperoleh dari barang-barang yang waktu sekarang terhadap perubahan atau penukaran barang di waktu yang akan datang. Boehm, pendukung penting dari pendapat ini, memberikan tiga alasan terhadap penurunan nilai di waktu yang akan datang:

  1. Keuntungan di masa yang akan datang diragukan karena ketidakpastian peristiwa yang akan datang serta kehidupan manusia, sedangkan keuntungan pada masa kini jelas dan pasti.[40]
  2. Kepuasan terhadap kehendak atau keinginan masa kini lebih bernilai bagi manusia daripada kepuasan mereka di waktu yang akan datang karena mungkin mereka tidak mempunya kehendak semacam itu di waktu yang akan datang.
  3. Oleh karena dalam kenyataannya barang-barang pada waktu kini lebih penting dan berguna, dengan demikian barang-barang tersebut mempunyai nilai yang lebih tinggi dibanding dengan barang-barang di waktu yang akan datang.[41]

Berdasarkan alasan-alasan tersebut, mereka mengatakan bahwa keuntungan pasti masa kini sudah jelas diutamakan daripada keuntungan di masa yang akan datang. Oleh karena itu, modal yang dipinjamkan kepada peminjam sekarang memiliki nilai yang lebih tinggi daripada sejumlah uang yang dikembalikan beberapa tahun kemudian. Sesungguhnya, bunga merupakan nilai kelebihan yang ditambahkan pada modal yang dipinjamkan pada masa pembayarannya agar mempunyai nilai yang sama dengan modal pinjaman semula. Dengan perkataan lain, bunga adalah sama dengan perbedaan dari segi psikologis dan bukannya dari segi ekonomis, antara barang-barang masa kini dengan barang-barang di masa yang akan datang.

Apa yang menjadi pertanyaan adalah: apakah sifat manusia sungguh-sungguh menganggap kehendak masa sekarang lebih penting dan berharga daripada keinginan-keinginannya di masa yang akan datang? Jika demikian, lalu mengapa banyak orang tidak membelanjakan seluruh pendapatannnya sekarang tetapi senang menyimpan pendapatannya itu untuk keperluan di masa yang akan datang? Kita akan banyak menjumpai orang yang menahan keinginannya di masa kini demi untuk keinginan masa depan yang merupakan peristiwa yang tidak dapat dilihat dan disangka. Segala usaha manusia kini diarahkan untuk masa depan yang lebih baik, sehingga kemungkinan kehidupan manusia di masa yang akan datang lebih bahagia dan sejahtera. Sangat sulit bagi kita untuk menemukan orang yang secara sukarela menciptakan hari ini yang lebih bahagia dan sejahtera dengan mengorbankan kebahagiaan dan kesejahteraannya di masa depan.[42]

Jika sementara kita dapat jumpai orang secara sukarela mengorbankan kebahagiaan masa depan demi memperoleh kesenangan masa kini, sekali lagi rumusan yang diambil untuk menetapkan bunga adalah salah. Menurut rumusan ini, antara peminjam dan pemberi pinjaman menunjukkan bahwa $100 hari ini adalah sama dengan $105 ($5 adalah bunga) setahun mendatang. Ini berarti bahwa setelah lebih dari setahun $105 akan mempunyai nilai sama dengan $100 dari tahun sebelumnya. Jika pinjaman tidak dibayarkan setelah satu tahun, setelah dua tahun, $100 dua tahun yang lalu nilainya sama dengan $110.[43]

Apakah perbandingan antara nilai yang lalu dengan nilai sekarang tersebut benar-benar sesuai? Dan apakah rumusan itu valid, bahwa barang masa lalu yang semakin tua, nilainya dibandingkan dengan barang masa kini akan bertambah? Tidak ada jawaban yang meyakinkan terhadap pertanyaan-pertanyaan tersebut.[44]

Maulana Maududi menjelaskan akan bahaya kejahatan institusi bunga dan menunjukkan bagaimana bunga itu dapat menyengsarakan dan menghancurkan masyarakat. Sekarang kita akan membicarakan kejahatan-kejahatan moral, budaya dan ekonomi tersebut satu persatu.

  1. e.Kejahatan-kejahatan Modal dan Spiritual

Institusi bunga menimbulkan perasaan cinta terhadap uang dan hasrat untuk mengumpulkan harta demi kepentingannya sendiri. Bunga menjadikan manusia egois, bakhil, berwawasan sempit serta berhati batu. Bunga membentuk sikap tidak mengenal belas kasihan, mendorong sifat tamak, menaburkan sifat cemburu, dan memupuk sifat bakhil dalam berbagai cara. Secara ringkas, bunga mendorong dan menyuburkan sifat-sifat buruk terhadap diri manusia yang dapat menimbulkan kesengsaraan di kalangan masyarakat.[45]

  1. f.Kejahatan Ekonomis

Bunga dibayarkan atas berbagai macam jenis pinjaman yang mengakibatkan berbagai macam persoalan sesuai dengan sifat pinjaman dan peminjam. Oleh karena itu, kita akan membicarakan setiap jenis pinjaman secara terpisah:

  1. Pinjaman konsumsi

Pinjaman-pinjaman semacam ini dilakukan oleh orang-orang yang mengalami kesulitan untuk memenuhi kebutuhan pribadinya. Pinjaman jenis ini amat biasa di kalangan orang-orang miskin dan menengah, khususnya di negara-negara berkembang. Sebagian besar orang mengambil pinjaman ini untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Oleh karena itu, sebagian besar dari pendapatan mereka diambil alih oleh para pemilik modal dalam bentuk bunga. Jutaan manusia di negara-negara berkembang menggunakan seluruh hidupnya untuk membayar hutang yang diwariskan kepada mereka. Upah dan gaji mereka sangat rendah sehingga setelah membayar bunga, sangat sedikit yang tersisa untuk menjadikan mereka mampu mendapatkan satu dua piring makanan setiap hari.[46]

Pembayaran angsuran bunga yang berat secara terus menerus ini telah merendahkan standar kehidupan dan pendidikan anak-anak mereka. Di samping itu, kecemasan yang terus menerus rupanya mempengaruhi efisiensi kerja mereka yang pada akhirnya akan memperlemah perekonomian negara mereka.

Selanjutnya, pembayaran bunga telah mengurangi (menurunkan) daya beli di kalangan mereka. Oleh karena itu, industri yang memenuhi permintaan golongan miskin dan menengah akan memperoleh kesan akan rendahnya permintaan kalangan tersebut. Dan secara berangsur-angsur tapi pasti, hal itu akan menurunkan pembangunan industri serta menghambat kemajuan masyarakat.[47]

  1. Pinjaman produktif

Pinjaman ini dilakukan oleh para pedagang, industrialis dan para petani untuk tujuan-tujuan yang produktif masuk dalam kategori peminjam jenis ini. Kapitalis, dengan malpraktek mereka, telah menimbulkan banyak kesengsaraan dengan memungut bunga dari para peminjam, begitu juga terhadap masyarakat. Beberapa pengaruh buruk akibat sifat tamak mereka dinyatakan sebagai berikut:

  1. sebagian besar modal masyarakat dibiarkan mandul dan tidak digunakan hanya karena dipegang kalangan kapitalis yang mengharapkan kenaikan tingkat bunga. Bahkan meskipun banyak usaha-usaha yang bermanfaat dan permintaan akan modal tinggi, di pasaran, kapitalis tidak akan melepaskan modalnya begitu saja untuk memperoleh bunga yang lebih tinggi lagi.
  2. Sikap tamak untuk kenaikan bunga yang lebih tinggi yang menyebabkan tidak mengalirnya modal ke tangan pedagang dan industri sesuai dengan sifat dan permintaan yang sesungguhnya. Kaum kapitalis telah menarik dana mereka dari pasar modal dengan mengenakan bunga sesuai dengan keinginan mereka.
  3. Malpraktek ini menambahkan kesan lebih buruk terhadap perputaran perdagangan yang sering terjadi secara periodik di kalangan masyarakat kapitalis modern dan sangat mempengaruhi kehancuran ekonomi.[48]
  4. Modal tidak diinvestasikan pada berbagai usaha-usaha yang penting dan bermanfaat bagi masyarakat tetapi kurang digunakan untuk usaha-usaha yang kurang begitu menguntungkan masyarakat.
  5. Pada umumnya kaum kapitalis memberikan pinjaman berjangka panjang untuk perdagangan dan industri karena semakin tinggi keuntungan para bisnis spekulatif dan mengharapkan meningginya bunga di masa yang akan datang. Perilaku kapitalis semacam ini, yang diakibatkan dari adanya bunga, merupakan hambatan dalam pembangunan industri, khususnya di negara-negara berkembang.

Selain itu, bunga tetap untuk jangka panjang itu sendiri merupakan kejahatan besar yang kadang-kadang, jika keuntungan usaha rendah, menghancurkan perusahaan yang bekerja dan berkembang maju. [49]

  1. Pinjaman Pemerintah

Pinjaman pemerintah ada dua macam. Pinjaman yang diperoleh dari dalam negari dan pinjaman yang diperoleh dari luar negeri itu sendiri.[50]

  1. Pinjaman yang diperoleh dari dalam negeri.

Pinjaman ini mungkin tak seproduktif pinjaman untuk mendirikan usaha-usaha seperti membangun seluruh air, jalan kereta api, membangun listrik tenaga air dan sebagainya.

Dalam hal pinjaman tak produktif, yang digunakan untuk keperluan-keperluan mendesak, dan keadaan-keadaan lain, seperti kelaparan, gempa bumi dan sebagainya, kedudukannya kurang lebih sama dengan pinjaman perorangan untuk memenuhi kebutuhan pribadi. Sesungguhnya kedudukan kapitalis dalam pinjaman semacam ini lebih buruk daripada memberikan pinjaman perorangan.

Kaum kapitalis seperti halnya orang yang tidak tahu bersyukur dan mementingkan dirinya sendiri sehingga ia memungut bunga kepada pemerintah, yang telah memberikan perlindungan kepadanya, dan memberikan kesempatan kepadanya kedudukan yang mereka nikmati. Apabila modal tidak digunakan untuk usaha-usaha yang dapat mendatangkan keuntungan tetapi digunakan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat, maka ini sama halnya berguna bagi kaum kapitalis itu sendiri, sehingga dasar untuk menarik bunga tidak dapat dianggap adil. [51]

Keadaan akan menjadi lebih buruk dan tidak dapat dimaafkan apabila negara itu sedang berjuang hidup mati memerangi musuh yang mengancam kehidupan dan hak milik di negara itu. Seluruh masyarakat mengorbankan harta dan hidupnya untuk mempertahankan keberadaan bangsa, sebaliknya kaum kapitalis yang mementingkan dirinya sendiri memungut uang berupa bunga, dari pinjaman perang. Mereka tidak bersedia memberikan walau sepeserpun dari uang pungutan bunganya, sedangkan anggota masyarakat yang lain memberikan (mempertaruhkan) kehidupan anak-anaknya, saudaranya, ayahnya untuk melindungi kehormatan dan negaranya. Bagaimana dapat dikatakan adil dan bijaksana dengan memberikan suapan kepada kaum kapitalis berupa bunga, sedangkan masyarakat yang lainnya dalam keadaan menderita, belum terjawab oleh para pelopor teori ini.

Semua beban bunga baik itu pinjaman produktif maupun yang tidak produktif akan ditanggap oleh golongan pembayar pajak yang miskin baik itu melalui pembayaran pajak langsung maupun tidak langsung. Terdapat jutaan orang miskin yang tidak mampu memenuhi bahkan kebutuhan pokok hidupnya tetapi harus membayar beban bunga kepada kaum kapitalis. [52]

  1. Pinjaman pemerintah dari luar.

Pinjaman ini mempunyai keburukan baik yang dimiliki pada keburukan pinjaman perorangan maupun pinjaman nasional, baik pinjaman ini digunakan untuk usaha-usaha yang produktif maupun tidak produktif.

Di samping itu, pinjaman ini mempunyai aspek lain yang penting dan berbahaya. Pinjaman ini dapat menghancurkan perekonomian dalam negeri danjuga dapat menimbulkan pertikaian internasional. Beban hutang yang amat berat tidak jarang bukan saja menghancurkan suatu bangsa, tetapi juga menabur benih kebencian dan rasa dendam antar bangsa yang seringkali berakibat peperangan.[53]

Hutang luar negari juga dapat membahayakan keamanan dan keselamatan bangsa yang baru saja merdeka, yang belum cukup kuat secara finansial dan politis untuk berdiri di atas kaki sendiri.

Format Perbankan Dalam Islam

Didalam bukunya, Interest, Maududi menyatakan bahwa Perbankan modern tidak sama sekali salah atau keliru. Perbankan adalah salah satu institusi yang dibesarkan oleh peradaban modern yang bermanfaat dan penting, tetapi telah dirusak oleh unsur-unsur yang jahat dan sangat keliru. [54]

Pada mulanya, bank memberikan pelayanan dan jasa yang sah menurut hukum, dan sangat dibutuhkan dan bermanfaat untuk suatu peradaban modern. Sebagai contoh, transfer uang dan menguangkannya dari satu tempat ke tempat lain, memberikan fasilitas dari transaksi bisnis internasional, locker/lemari untuk menyimpan barang-barang yang berharga, letter of credit, treveller cheques, demand draft, menyusun dan merencanakan penjualan saham suatu perusahaan atau perorangan dan menyediakan fasilitas-fasilitas lain yang memudahkan para pengusaha/pebisnis. Fasilitas-fasilitas ini terbukti telah membantu dan mempertahankan banyak perusahaan di era peradaban modern ini.

Selain itu, sistem perbankan modern sangat perlu dan menguntungkan pada kondisi saat ini, terutama dalam bidang Bisnis, Industri, Agriculture /Pertanian dan lain-lain dari berbagai kultur. Selain itu, bank berfungsi untuk mengumpulkan kekayaan yang terserak pada masyarakat dan disatukan, kemudian disalurkan ke semua sektor kehidupan, kapan saja dan di mana saja. Di samping itu, sistem perbankan modern banyak disenangi oleh semua kalangan yang umumnya menabung untuk menjaga keamanan uang tersebut dari gangguan dan mencari peluang yang menguntungkan dengan cara investasi. Ia menyimpan uang ke bank kemudian uang tersebut di investasikan kedalam proyek-proyek yang produktif dan mendistribusikan laba kepada pemilik rekening/nasabah.[55]

Pengurus dan para pekerja dari suatu bank, yang memiliki keahlian-keahlian dan kebijaksanaan di bidang manajemen keuangan dapat menutupi kekurangan-kekurangan para pelaku bisnis, industriawan dan para profesional di sektor ekonomi; Keahlian dan kebijaksanaan ini adalah suatu komoditas yang sangat bernilai dan terbukti sangat menguntungkan dengan ketentuan, bahwa hal tersebut tidak dijadikan sarana penimbunan uang tetapi digunakan untuk mendorong pelaku bisnis.

Tetapi yang sangat disayangkan di sini, bahwa perbankan modern menggunakan sistem bunga. Hal ini telah membalikkan semua kebaikan dan keunggulan bank ke dalam suatu kejahatan dan memberi kerugian yang sangat besar bagi masyarakat. Sebagai contoh bank menggunakan bunga sebagai umpan bagi investor untuk menanamkan modal, yang mana umpan tersebut dijadikan sarana bagi para kapitalis untuk mengeruk kekayaan individu tanpa usaha yang maksimal dan tanpa memperdulikan kepentingan orang banyak. Dengan penghapusan sistem tersebut, perbankan akan menjadi murni dan lebih menguntungkan untuk masyarakat dibanding sekarang. Hal tersebut telah terbukti lebih menguntungkan bagi para pemilik bank dan masyarakat luas dibanding sistem perbankan yang lazim di beberapa bank yang menggunakan sistem keuangan tanpa bunga.[56]

Adalah salah jika menganggap, bahwa penghapusan Bunga akan menstop aliran uang ke dalam Bank dan berpikir bahwa tanpa perangsang, orang-orang akan berhenti menyimpan uang mereka ke bank. Sebagai gantinya, akan ada perangsang yang lebih menguntungkan bagi masyarakat dan bank, karena tingkat laba akan bersifat tak terbatas dan tidak pasti, serta resiko dari tingkat tarip laba akan bersifat equalled. Hal tersebut memberikan kesempatan untuk mendapatkan nilai keuntungan, yang jauh melebihi tingkat bunga. Karena itu, modal akan terus mengalir ke dalam kas bank setelah penghapusan bunga.

Penghapusan bunga ini akan memberikan suatu daya dorong ke sektor bisnis, meningkatkan kesempatan dari ketenaga-kerjaan dan pendapatan, karena quantum penyimpanan uang di bank akan meningkat. Efeknya, pihak bank tidak akan mampu menginvestasikan uang yang disimpan di dalam rekening tabungan di bank ke proyek-proyek yang menguntungkan. Oleh sebab itu, sejumlah uang ini sebagian besar akan digunakan untuk dua tujuan yang utama: satu, untuk kebutuhan tunai sehari-hari dalam memenuhi kebutuhan nasabah dan bank; kedua, untuk memperpanjang pinjaman jangka pendek ke para pelaku bisnis dan pembayaran Bills of Exchange tanpa membebankan bunga.[57]

Sedangkan untuk pinjaman jangka panjang dan deposito tetap akan bermanfaat dan disalurkan untuk dua kategori: satu, untuk memberikan rasa aman pada pemilik uang dan bank akan meminjamkan uang ini ke sektor bisnis seperti diterangkan di atas. kedua, uang akan di investasikan ke proyek bisnis melalui bank. Sebagai ganti pemeliharaan dan penggunaan uang ini dalam simpanan, masing-masing pihak akan melaksanakan suatu persetujuan persekutuan.

Kemudian pihak bank akan menginvestasikan modal ini bersama dengan deposito yang lain kedalam proyek bisnis, proyek agrikultur dan industri yang menguntungkan bagi kedua pihak. Secara keseluruhan hal ini akan menghasilkan dua keuntungan yang besar. Pertama, bunga dari banker/pemilik bank akan menjadi satu dengan bunga dari bisnis, dan aliran keuangan ke sektor bisnis akan selalu tersedia menurut kebutuhan. sehingga penyebab depresi ekonomi yang terjadi di dunia saat ini, hampir menghilang lenyap. Yang kedua, keahlian keuangan dari pihak bank dan ketajaman industri dari usahawan, akan bersatu dan bekerja sama satu sama lain, hal ini tentu sangat memberi keuntungan bagi kedua belah pihak. Setelah mengurangi ongkos operasi, bank akan mendistribusikan laba yang didapat kepada para pemegang saham dan pemilik rekening menurut suatu perbandingan yang ditetapkan dan disetujui.

Dalam sistem konvensional dividen hanya diberikan kepada pihak pemegang saham sedangkan pemilik rekening hanya mendapatkan bunga yang telah ditetapkan saja. Setelah penghapusan bunga, pemegang saham dan pemilik rekening akan berbagi dividen tersebut dan pemilik rekening akan mendapatkan laba yang besar atau kecil yang sebanding dengan investasinya.[58]

Bait-ul-Maal atau Bank Pemerintah perlu menguasai semua fungsi menghubungkan dengan perbankan yang pusat. Mengatur kendali dan menegakkan disiplin bagi bank swasta untuk mencegah banker/pemilik bank tersebut dalam pengambilan keuntungan yang tak pantas dengan kekuatan moneter mereka.

Kesimpulan

Perlu kita cermati bersama, bahwa Abul A’la al-Maududi telah memaparkan semua keburukan-keburukan dari sistem ekonomi Kapiltalis, Nasional Sosialis, Komunis dan Fasis yang merupakan sistem ekonomi buatan manusia dan menawarkan suatu sistem untuk memecahkan permasalahan ekonomi yaitu sistem ekonomi Islam. Sistem ekonomi Islam ini, telah sangat meringankan beban ekonomi yang harus dipikul masyarakat. Oleh karena itu, sistem ekonomi Islam telah menjadi rahmat yang sangat besar bagi umat manusia.

Apabila dikaji dengan hati yang tulus dan bebas dari prasangka-prasangka yang telah menjadi warisan buruk dalam perjalanan sejarah, dan tidak gentar menghadapi gembar-gembornya sistem sosial yang modern, maka sistem yang diajukan oleh Islam akan memenuhi hasrat setiap orang yang berpikiran sehat dan yang bersungguh-sungguh mencari kebenaran sebagai suatu sistem yang sangat berguna, sangat tepat dan rasional untuk memecahkan permasalahan kesejahteraan ekonomi umat manusia.

Al-Maududi juga menerangkan bahwa bunga yang dipungut oleh bank itu haram hukumnya. karena, terdapat pembayaran lebih dari uang yang di pinjamkan dan sangat menyengsarakan masyarakat. Sedangkan uang yang lebih dari itu adalah Riba, dan riba itu adalah haram hukumnya. Kemudian jika dilihat dari segi lain, bahwa Bank itu hanya tahu menerima untung, tanpa menanggung resiko apa-apa. Bank meminjamkan Uang kemudian rentenya dipungut, sedangkan rente itu semata-mata menjadi keuntungan Bank yang sudah ditetapkan. Dan pihak Bank tidak mau tahu apakah orang yang meminjam uang itu rugi atau untung.

Al-Qur’an dan as-Sunnah, dua sumber pokok Islam melarang keras adanya bunga karena kezalimannya. Tetapi beberapa orang Islam terpelajar silau oleh pesona lahiriyah peradaban Eropa yang mengatakan bahwa yang dilarang Islam itu adalah riba bukan bunga. Mereka berpendapat bahwa bunga yang dibayar pada peminjam adalah investasi dalam kegiatan produksi dan tidak bertentangan dengan hukum al-Qur’an karena hukum ini hanya mengacu pada riba, yaitu pinjaman yang bukan untuk produksi dimasa pra-Islam. Pada masa itu orang tidak mengenal pinjaman produksi dan pengaruhnya pada perkembangan ekonomi.

Sebenarnya, perbedaan pinjaman produktif dan tidak produktif adalah perbedaan tingkat, bukan perbedaan jenis. Menyebut riba dengan bunga tidak akan mengubah sifatnya. Karena bunga adalah suatu tambahan modal yang dipinjam. Karena itu bunga adalah riba baik dalam jiwa maupun dalam peraturan hukum Islam.

Waallahu a’lam bi sowab ……

DAFTAR PUSTAKA

Al-‘Assal, Ahmad, Muhammad, dan Fathi Ahmad Abdul Karim, Sistem, Prinsip, dan Tujuan Ekonomi Islam, Penerjemah Imam Saefuddin, Judul Asli: al-Nizam al-Iqtishodi fi al-Islam Mabadih Wahdafuh, Bandung: CV. Pustaka Setia, 1999 Cet ke-1

Ahmad, Zainal Abidin, Dasar-dasar Ekonomi Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1990. Cet ke-3

Departemen Agama, al-Qur'an dan Terjemahannya

Euis Amalia, M.Ag, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam Dari Masa Klasik Hingga Kontemporer, Jakarta: Pustaka Asatruss, 2005

HA. Mukti Ali, Alam Pikiran Islam Modern di India dan Pakistan, Bandung: Mizan, 1996

John L, Esposito, Islam dan Politik, judul asli: Islam and Politics, penerjemah: Joesoef Sou'yib, Jakarta: Bulan Bintang, 1990

Kahf, Monzer, Ekonomi Islam Tela’ah Analitik Terhadap Fungsi Sistem Ekonoi Islam, Judul Asli: The Islamic Analytical of The Functioning of The Islamic Economic System, Yoyakarta: Pustaka Pelajar, 1995. Cet ke-1

Kafrawi Ridwan dkk, Ensiklopedia Islam, Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1993

Manan, Abdul., Teori dan Praktek Ekonomi Islam, Dasar-dasar Ekonomi Islam, Penerjemah, M. Nastalgin, Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Waqaf, 1995

Maududi, A'la, Abul, Bicara Tentang Bunga dan Riba, Judul Asli: Riba’, Penerj: Isnando, Jakarta: Pustaka Qalami, 2003.

_________________, Economic System of Islam, Lohare: Islamic Publicationh Ltd, 1999

_________________, Interest, Lohare: Matbaat-ul-Maktabat el Ilmiyah.

_________________, Islam: Way of Life, Lohare: Islamic Publicationh Ltd.

_________________, Masalah Ekonomi dan Pemecahannya menurut Islam, Judul Asli: The Economic Problem of Man And It’s Islamic Solution, Penerjemah Adnan Syamni Jakarta: Media Da’wah, 1985

_________________, Sistem Politik Islam, Judul asli: The Islamis Law and Constitution, Penerjemah: Asep Hikmat, Bandung: Mizan, 1995

_________________, Some Aspects of Islamic Economy, Lohare: Matbaat-ul-Maktabat el Ilmiyah.

_________________, The Economic Problem of Man And It’s Islamic Solution, Lohare: Islamic Publicationh Ltd, 1941

_________________, The Islamic Law and Constitution, Lohare: Islamic Publicationh Ltd, 1975.

_________________, Towards Understanding Islam, Lohare: Islamic Publicationh Ltd.

Misbah-ul-Islam Faruqi, Introducing Maududi dalam Islam Today with a Brief Life Sketch of The Author, Kuwait: Dar al-Qalam, 1968

Najetullah, Siddiq, Muhammad, Banking Without Interest, Lohare: Islamic Publicationh Ltd.

Rahman, Afzalur, Doktrin Ekonomi Islam, Penerjemah: Soeroyo dan Nastagin, Judul asli: “Economic Doktrin of Islam”, Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Wakaf, 1995. Jilid I, II, III, IV.

Riduan Tobink, Bill Nikholaus-Funuel, Kamus Istilah Perbankan, Jakarta: PT. Atalya Rileni Sudenco, 2003

Samir Abdul Hamid Ibrahim, Abul A'la al-Maududi; Fikruh wa Da'watuh, al-Qahirah: Dar al-Ansar,1979

Saeed, Abdulullah, Menyoal Bank Syari’ah: Kritik atas Interpretasi Bunga Bank Kaum Neo-Revivalis, Judul Asli: Islamic Banking: A Study Riba And Its Contemporary Interpretation, Penerj: Arif Maftuhin, Jakarta: Paramadina, 2004.

Tarek al Diwany, Sistem Bunga dan Permasalahannya, penerjemah: Amdiar Amir, Judul asli: The Problem With Interest, Jakarta:Akbar Media Eka Sarana, 2003

Vadillo, Umar, Bank Tetap Haram: Kritik Terhadap Kapitalisme, Sosialisme, dan Perbankan Syari’ah, Judul Asli: The End of Economics: an Islamic Critique of Economic, Penerj: Sigit Kurnadi dan Tri Joko S, Jakarta: Madinah Press, 2005


[1] Abu A’la al-Maududi, Economic System Of Islam, (Lohare: Islamic Publication Ltd, 1999), hal 83

[2] Joseph Schumpeter, History of Economic Analysis, (New York; Oxfort University Press, 1954), h. 52

[3] Abul A'la Maududi, Economic System of Islam, Op.Cit, h. 20

[4] Abul A'la Maududi, The Islamic Law and Constitution, (Lohare: Islamic Publicationh Ltd., 1975), h. 119

[5] Abul A'la Maududi, Islamic Way of Life, (Lohare: Islamic Publicationh Ltd.), h. 56

[6] Syed Abul A'la Maududi, Economic System of Islam, (Lohare: Islamic Publicationh Ltd, 1999), h. 18

[7] Kafrawi Ridwan dkk, Ensiklopedia Islam, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1993), h. 209

[8] Ibid

[9] Ibid, h. 210

[10] Euis Amalia, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam Dari Masa Klasik Hingga Kontemporer, (Jakarta: Pustaka Asatruss, 2005), h. 235. lihat juga: Syed Abul A’la Al-Maududi, Economic System of Islam, (Lohare: Islamic Publication Ltd, 1994), h. 82

[11] Syed Abul A’la Al-Maududi, Economic System of Islam, Op.Cit, h. 30

[12] Euis Amalia, Op.Cit, h. 236. Lihat juga: Ibid, h. 84

[13] Euis Amalia, Ibid.

[14] Abul A’la Al-Maududi, Economic System of Islam, Op.Cit, h. 86

[15] Euis Amalia, Op.Cit. h. 237

[16] Abul A’la Al-Maududi, Masalah Ekonomi dan Pemecahannya Menurut Islam, (Jakarta: Media Da’wah, 1985), h.45. lihat juga: Abul A’la Al-Maududi, Economic System of Islam, Op.Cit, h. 30

[17] Ibid, h. 46

[18] Ibid, h. 47

[19] Abul A’la Al-Maududi, Economic System of Islam, Op.Cit, h. 32

[20] Ibid, h. 32-33

[21] Abul A’la Al-Maududi, Masalah Ekonomi Masalah Ekonomi dan Pemecahannya Menurut Islam, Op.Cit, h. 52-53

[22] Syed Abul A’la Al-Maududi, Economic System of Islam, Op.Cit, h. 34

[23] Ibid, h. 35

[24] Euis Amalia, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, Op.Cit, h. 241

[25] Ibid.

[26] Afzalur Rahman, Doktrin Ekonomi Islam, Penerjemah: Soeroyo dan Nastagin, Judul asli: “Economic Doktrin of Islam”, (Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Wakaf, 1995), Jilid III, h. 57.

[27] Ibid, h. 58

[28] Euis Amalia, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, Op.Cit, h. 244

[29] Syed Abul A’la Al-Maududi, Economic System of Islam, Op.Cit, h. 168

[30] Ibid, h. 169. Lihat juga, Afzalur Rahman, Doktrin Ekonomi Islam, Op.Cit, h. 59

[31] Afzalur Rahman, Doktrin Ekonomi Islam, Ibid, h. 60

[32] Syed Abul A’la Al-Maududi, Economic System of Islam, Op.Cit, h. 171

[33] Euis Amalia, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, Op.Cit, h. 245

[34] Afzalur Rahman, Doktrin Ekonomi Islam, Op.Cit, h. 61

[35] Syed Abul A’la Al-Maududi, Economic System of Islam, Op.Cit, h. 174

[36] Afzalur Rahman, Doktrin Ekonomi Islam, Op.Cit, h. 62

[37] Ibid.

[38] Syed Abul A’la Al-Maududi, Economic System of Islam, Op.Cit, h. 175

[39] Euis Amalia, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, Op.Cit, h. 246

[40] Afzalur Rahman, Doktrin Ekonomi Islam, Op.Cit, h. 64

[41] Syed Abul A’la Al-Maududi, Economic System of Islam, Op.Cit, h. 176

[42] Afzalur Rahman, Doktrin Ekonomi Islam, Op.Cit, h. 65

[43] Ibid

[44] Euis Amalia, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, Op.Cit, h. 247

[45] Afzalur Rahman, Doktrin Ekonomi Islam, Loc.Cit.

[46] Ibid, h. 67

[47] Syed Abul A’la Al-Maududi, Economic System of Islam, Op.Cit, h. 203

[48] Ibid. h. 205

[49] Afzalur Rahman, Doktrin Ekonomi Islam, Op.Cit, h. 68

[50] Ibid, h. 69

[51] Syed Abul A’la Al-Maududi, Economic System of Islam, Op.Cit, h. 206

[52] Ibid, h. 207

[53] Afzalur Rahman, Doktrin Ekonomi Islam, Op.Cit, h. 70

[54] Syed Abul A’la Al-Maududi, Economic System of Islam, Op.Cit, h. 210

[55] Ibid, h. 211

[56] Ibid.

[57] Ibid, h. 212

[58] Ibid.

wakil pac 2 Oleh :
Ahyar Siddiq, S.E.I., M.H.I.

| PTA BANTEN, JAWARA HEBAT & BERMARTABAT